Menunggu lampu jalan kembali merah, ia memandangi kota yang masih ramai meski waktu telah memasuki jam larut. Sepasang maniknya menatap intens orang-orang yang menyebrang jalan dari tiap sisi dengan kagum. Walau ia sendiri juga telah tergabung dalam hiruk pikuknya dunia kerja, namun tiap kali melihat mereka yang lalu lalang mengenakan setelan kantor selalu berhasil membuatnya kagum dan berpikir, Aah ... mereka luar biasa sekali.
Begitu jumlah penyeberang mulai berkurang, ia meraih gagang motor dan menyalakan lampu sen kanan. Tepat lampu jalan telah berubah merah, ia beserta kendaraan yang lain menggerung gas dan melaju di antara gemerlapnya kota metropolitan itu. Mengacuhkan angin dingin yang menusuk kulit, pikirannya saat ini asyik membayangkan sang kekasih yang menunggunya dan menyuguhkan makanan hangat. Tak lupa dengan sambutan selamat datang yang selalu mampu membuatnya berdebar. Hanya dengan hal sederhana itu cukup untuk menyalakan bara motivasinya untuk bekerja lebih keras agar dapat membawa sang kekasih untuk mengikat janji suci.
Pulang bekerja, ia berjalan seorang diri dengan satu kantong plastik besar di tangan. Merapatkan jaket hingga leher, ia merogoh kantong belanjaan dan mengambil satu kebab instan yang sudah dihangatkan di supermarket. Melahap makanan itu sembari jalan, maniknya secara otomatis memandangi jalanan yang sudah cukup sepi pejalan kaki. Selain memang jalanan ini sudah memasuki pemukiman, deretan toko-toko di sepanjang jalan juga sudah tutup pintu rapat-rapat. Bukan hal aneh jika saat melewati beberapa toko yang sudah tutup akan ada pengemis atau tunawisma yang menggelar kardus dan selimut koran untuk tidur dibawah atap toko. Tak tahan melihat salah satu pengemis masuk zona pandang, ia mempercepat langkah dan bergegas menjauh.
Memasuki perumahan, ia tidak seantusias sebelumnya untuk memerhatikan sekitar. Lagipula apa yang bisa dilihat dari deretan rumah-rumah yang sudah gelap? Kecuali lampu depan, jendela semua rumah sudah gelap dan ditutup rapat. Pada jam segini, semua orang umumnya juga sudah terbungkus selimut dan nyenyak dalam mimpi. Kecuali beberapa orang yang masih memiliki tugas yang harus dituntaskan seperti dirinya. Walaupun malam memang waktu yang telah dewa atur untuk manusia beristirahat, namun pekerjaan yang tidak tertuntaskan hanya akan menjadi gangguan mutlak dalam otak. Jangankan berpikir untuk istirahat, orang-orang yang tertumpuk tugas menggunung pasti takkan bisa memejamkan mata barang sedetik gara-gara salah satu beban hidup itu.
Aku ingin segera sampai rumah, Adalah harapannya di tengah hela nafas lelah yang ia hembuskan.
Mengambil arah kanan dari perempatan jalan, netranya dibuat melebar kala mendapati adanya siluet yang bergerak mendekat. Mengeratkan genggaman pada kantong plastik, ia menarik mundur kakinya dan bersiap untuk kabur sejauh mungkin hingga tiba-tiba siluet di depan sana mulai membentuk tubuh manusia.
"Selamat malam, Red Parade."
Kedua kakinya langsung menegang. Disusul sepasang manik yang terbelalak shock dan pupil gemetar. " ... Kau lagi?"
Sosok siluet yang merupakan seorang pria tinggi itu menoreh senyum tipis. "Aah, jangan dingin begitu. Bukankah kita keluarga?"
Mengeratkan kepalan tangan, sepasang netranya menyorot marah. "Anda benar-benar tidak sopan karena terus-menerus mengganggu roh yang sudah mati ini."
"Hahaha ... Bukankah kamu harus mengapresiasi usahaku yang rela masuk ke kubangan neraka untuk menjemputmu?"
"Persetan! Apalagi maumu sekarang?! Tidakkah sebelumnya sudah cukup?!" bentaknya.
Pria itu mengeluarkan selipat kertas dari saku dalam jasnya. "Tidak seperti sebelumnya, kali ini kita tidak menerima pesanan lagi. Lebih tepatnya, dua rencanaku sebelumnya benar-benar sudah gagal total. Jadi kita sudah tidak lagi memerlukan orang lain untuk menghancurkan mereka."
Memahami maksud dari kalimat pria itu, setumpuk penyesalan mulai memenuhi relung hatinya. Meski sudah beberapa tahun berlalu, semua kejadian itu masih terasa seperti kemarin. Dan sudah pasti untuk dirinya yang diikat seperti ini, ia tak punya pilihan untuk menuruti perintah orang didepannya.
"Karena Yusya sudah lenyap, sudah saatnya kita menghidupkan nama kita kembali."
Terdiam cukup lama, ia menautkan kedua alis dan membelalak. " ... Apa?"
Senyum tipis pria itu kini berubah menjadi seringai lebar. Melempar lipatan kertas di tangannya, pria itu merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
"Ini adalah waktu yang tepat untuk bangkit, wahai keponakanku! Dengan adanya dirimu, sindikat kita akan bangkit sekali lagi dan mengguncang dunia bawah! Dengan begitu, bahkan ZINGAI dan Manjushage bukanlah apa-apa untuk kita!"
"!?"
Seluruh tubuhnya panas dingin begitu menyadari dengan benar maksud ucapan pria itu. "Tidak ... Jangan bilang—!!"
"Benar, aku sudah menyebarluaskan gosipnya. Dan sekarang adalah giliranmu untuk membuktikan kebenaran dari gosip itu!!"
Kepalanya kembali jatuh tertunduk. Raut putus asa tercetak amat jelas diwajahnya. "—Kau benar-benar ...!"
Berjalan mendekatinya, pria itu alias pamannya menepuk bahu kirinya dan berbisik. "Aku akan kirimkan misi pertamamu seperti biasa. Lakukanlah seperti saat kau menculik para Tuan Muda semanggi atau membantu penembakan Manjushage dulu. Aku mengandalkanmu."
Mendekatkan bibir pada telinga si keponakan, ia berbisik dengan seringai. "Aah, benar juga. Hari ini pun aku juga mengunjungi rumahnya—"
"ARGH, BAIKLAH!! KAU PUAS!?" teriaknya sembari mendorong tubuh pamannya menjauh.
Mengulum senyum puas, pria itu terkekeh. "Baguslah kalau kau paham."
Seperginya sang paman dari lokasi, ia termenung cukup lama sebelum akhirnya membulatkan tekad. Menarik nafas dalam-dalam, ia menghembuskannya panjang hingga merasa ringan pada tubuhnya.
"Aku benar-benar tidak mengharapkan ini. Tolong maafkan aku."
The Sequel from My Lovely Killer
• My Precious Thief •
( START )
KAMU SEDANG MEMBACA
My Precious Thief || SakaUra [ END ]
Short Story♦️Utaite Fanfiction♦️ The Last of Mine Series Usai mendapatkan kertas bersimbol unik, Sou memutuskan untuk menyelidiki hal ini diam-diam seorang diri. Lama tak mendapatkan petunjuk, Sou menunda pencarian dan fokus untuk menjalani keseharian barunya...