28 Further Plans

66 7 33
                                    

Terik matahari mulai merambat di langit ketika enam pria muda merebahkan diri di atas matras empuk yang terhampar di aula olahraga. Ruangan luas itu dipenuhi aroma keringat dan napas terengah-engah, hasil dari sesi sparring intens yang baru saja mereka selesaikan. Sou menjadi yang terakhir merebahkan diri, melirik memperhatikan Eve yang masih berusaha mengatur napasnya. Dada Eve naik turun dengan cepat, meski begitu wajahnya menunjukkan adanya keceriaan yang tidak biasa. Sou tidak bisa mengungkapkan kebahagiaan yang membuncah ini selain dengan senyum.


Menghela napas panjang, Sou memutuskan untuk berbalik dan tengkurap, menggunakan lengan menjadi tumpuan dagu. Matanya biru pucatnya menyapu satu per satu wajah teman-temannya. Sakata yang tak diduga ikut tengkurap, mengeluarkan keluhan pelan. Jari-jarinya yang panjang dan lentik memainkan ujung matras dengan gelisah.


"Ah, aku ingin menelepon Ura-san," gumamnya, suaranya terdengar sedikit frustrasi dan rindu yang tak tersampaikan.


Mendengar nama itu, Soraru mendongakkan kepalanya. Rambut biru gelapnya yang lembab oleh keringat jatuh menutupi sebagian matanya. Ia menyibakkannya ke samping sebelum berbicara, "Oh iya, aku jadi penasaran. Bagaimana caramu merahasiakan identitasmu sebagai Red Parade dari Urata selama ini?"


Pertanyaan Soraru membuat ruangan itu hening seketika. Sakata tidak langsung menjawab. Matanya yang biasanya berbinar penuh kejenakaan itu mengerjap beberapa kali, terlihat berpikir. Jari-jarinya berhenti memainkan ujung matras, kini mengetuk pelan permukaan matras. "Sejujurnya... aku sama sekali tidak punya keberanian untuk mengaku. Malah, aku sangat tidak bisa membayangkan Ura-san mengetahui rahasiaku."


Sakata terdiam sejenak, tampak matanya sedang menerawang jauh ke masa lalu yang hanya ia sendiri bisa lihat. "Menurutku, akan lebih baik jika dia yang hanya warga biasa tidak mengetahui apapun tentang hal-hal yang berurusan dengan dunia bawah. Tidak ada hal baik yang datang dari sana, bahkan hal sepele sekalipun."


Mafu yang berbaring di samping Soraru mengangguk setuju. Matanya memancarkan pengertian mendalam. "Aku setuju. Terkadang ketidaktahuan bisa menjadi berkat tersendiri,” ujarnya lembut.


Namun, tampaknya Luz menunjukkan reaksi yang berbeda. "Tapi bukankah lebih baik untuk sepasang kekasih tidak menyembunyikan rahasia apapun?" Matanya menatap Sakata lekat-lekat, seolah berusaha membaca pikiran sahabatnya itu.


Memahami darimana dasar pertanyaan temannya itu, Sakata menggeleng cepat. "Aku lebih memilih untuk dikenal sebagai Sakata yang berasal dari panti asuhan saja. Bukan Red Parade yang berasal dari organisasi kriminal Cross Dead."


Keheningan kembali menyelimuti ruangan itu. Udara terasa berat oleh rahasia dan dilema moral yang menggantung di antara mereka. Sou yang sejak tadi hanya mendengarkan berinisiatif memecah kesunyian dengan pertanyaan yang sudah lama mengganggu pikirannya. "Omong-omong terkait rahasia, aku penasaran, bagaimana caramu menciptakan alibi yang nyaris sangat sempurna itu? Maksudku, kamu dengan mudahnya menipu semua pihak dengan kebohongan yang rasanya lebih masuk akal daripada fakta itu sendiri."


Terkejut dengan pertanyaan itu, Sakata tersenyum tipis. Ada kilatan cerdas di matanya ketika ia menjawab dengan santai, "Itu karena kebohonganku tidak sepenuhnya berisi kebohongan."


“Eh, apa maksud—“


Belum sempat yang lain mencerna jawaban Sakata yang membingungkan, suara notifikasi dari ponsel Eve memecah keheningan. Nada dering yang familiar itu membuat semua kepala menoleh ke arah Eve. Dengan gerakan cepat, Eve meraih ponselnya yang tergeletak di samping matras. Matanya melebar sedikit ketika melihat nama yang tertera di layar.

My Precious Thief  ||  SakaUra [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang