Waktu seakan kehilangan maknanya. Detik-detik berlalu dalam emosi yang begitu intens. Butuh lebih dari lima belas menit hingga isakan keduanya mulai mereda menjadi senggukan pelan, meski air mata masih sesekali menetes membasahi pipi mereka yang memerah. Sakata terus memeluk mereka, tubuhnya menjadi jangkar yang menahan mereka tetap tegap, memberikan ketenangan yang sangat mereka butuhkan melalui usapan lembut di punggung.
"Ura-san," Sakata akhirnya bersuara, menoleh pada pria yang sedari tadi berdiri tak jauh dari mereka. "Boleh aku mengajak mereka ke atas? Ada banyak yang harus kujelaskan."
Urata mengangguk tegas, menyeka sudut matanya dengan cepat. "Kau harus menceritakan semuanya pada mereka, Sakata. Semuanya." Ada penekanan mengancam dalam suaranya yang membuat Sakata tersenyum kikuk, mengingatkannya akan tanggung jawab besar yang harus ia pikul.
"Aku tahu." Sakata mengangguk mantap.
Dengan penuh kelembutan, Sakata melepaskan pelukannya perlahan dan menuntun kedua temannya menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Sou dan Mafu mengikuti dalam diam, tangan mereka masih bergetar hebat saat berpegangan pada pagar tangga, seolah kaki mereka bisa kehilangan kekuatan kapan saja.
Begitu sampai di kamar, Sakata mempersilakan keduanya duduk di tepi tempat tidur sementara ia mengambil kursi dan duduk menghadap mereka. Ada jeda beberapa saat yang terasa berat oleh emosi yang masih mengambang di udara sebelum ia mulai berbicara.
"Aku tahu kalian pasti punya banyak pertanyaan. Dan sepertinya aku menyebabkan beberapa masalah, ya." Sakata memulai dengan suara lembut, matanya menatap bergantian pada kedua sahabatnya yang masih tampak rapuh.
Mafu mengangguk pelan, lantas menggeleng. Matanya masih merah dan sembab, jejak air mata masih jelas terlihat di pipinya yang pucat. Kondisi Sou juga tidak jauh berbeda. Meski dia yang masih sesenggukan, namun Sou adalah yang pertama bertanya.
"Bagaimana... bagaimana kau bisa selamat? Gedung itu... ledakannya..." suaranya bergetar.
Sakata menarik napas dalam, termenung sekian saat sebelum mulai bercerita. Ia bisa melihat bagaimana tubuh kedua sahabatnya menegang, bersiap mendengar kebenaran yang selama ini tersembunyi dari mereka.
"Sepuluh detik sebelum ledakan terjadi, salah satu rekanku ... tidak. Lebih tepat jika kukatakan sebagai keluargaku. Dia adalah harimau emas yang telah setia menemani mama di sirkus, namanya Lala. Lala menarikku keluar melalui pintu belakang gedung," Sakata memulai, suaranya tenang meski matanya menyiratkan kepedihan saat mengingat momen mengerikan itu. "Ketika ledakan terjadi, kami terpental cukup jauh ke dalam hutan di belakang gedung, dan hanya aku yang selamat karena Lala membentur batu besar. Butuh waktu bagiku untuk mengumpulkan tenaga karena beberapa kondisi."
Sou mengepalkan tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih, kemarahan dan rasa sakit bercampur dalam suaranya yang bergetar. "Kenapa... kenapa kau tidak memberi kabar?"
"Aah, itu ... aku menghancurkannya."
Mafu dan Sou melongo. " ... apa?'
"Yah ... setelah menelpon Ura-san, aku menghancurkannya."
"APA KAU TOLOL?!" bentak Mafu yang tampaknya sudah berhasil mengendalikan emosinya.
"Ta-tapi bukan hanya itu, kok, alasannya! Sumpah!!" Sakata memotong agak panik. "Saat itu, aku sadar bahwa orang-orang yang mengincarku pasti mengira aku sudah tewas dalam ledakan. Kalian pasti tahu, kan, ada banyak orang di luar sana yang memiliki dendam pada Red Parade atau pada Cross Dead. Aku tidak mungkin bisa menangani situasi besar itu. Jadi, aku memutuskan untuk memanfaatkan situasi. Ditambah lagi, aku butuh waktu untuk pemulihan. Beberapa tulangku retak karena terpental dan pertarungan dengan Madotsuki."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Precious Thief || SakaUra [ END ]
Cerita Pendek♦️Utaite Fanfiction♦️ The Last of Mine Series Usai mendapatkan kertas bersimbol unik, Sou memutuskan untuk menyelidiki hal ini diam-diam seorang diri. Lama tak mendapatkan petunjuk, Sou menunda pencarian dan fokus untuk menjalani keseharian barunya...