34 Remained Memories

22 4 15
                                    

Ledakan dahsyat itu memicu terjadinya kebarakan besar yang meluluh-lantakkan sebagian kawasan ghetto yang jauh terpencil di pesisir kota. Hal itu pun menjadi berita hangat yang membuat orang-orang penasaran dengan pemicunya. Berkat para Tuan Besar, tragedi dan pembantaian yang berada di balik peristiwa kebakaran besar itu menjadi akibat dari kecelakaan tidak terduga yang disebabkan oleh kebocoran gas. Berkat kebakaran besar itu, sebagian barang bukti lenyap dalam semalam. Namun, kebakaran itu juga menelan sesuatu yang tidak seharusnya hangus karenanya.


Eve duduk dalam diam di samping ranjang rumah sakit, jemarinya gemetar saat mencengkeram ujung kemejanya yang kusut. Matanya yang lelah tertuju pada sosok Sou yang terbaring dengan tubuh dibalut perban putih yang kontras dengan rambut peraknya yang kusam. Dadanya terasa sesak setiap kali melihat mata Sou yang kosong menatap langit-langit. Mata yang biasanya selalu berbinar untuk menghiburnya kini tampak seperti kaca retak yang kehilangan cahayanya.


Eve mengusap rambutnya, sebuah gestur gugup yang tak bisa dia kendalikan. Tenggorokannya terasa tercekat setiap kali dia mencoba bicara, seolah ada ribuan jarum yang menusuk setiap kata yang ingin dia ucapkan. Bagaimana dia bisa merangkai kata-kata penghiburan saat dirinya sendiri masih tenggelam dalam kesedihan yang sama dalamnya?


Sou pasti masih terbayang-bayang pada markas Cross Dead yang dilalap api, sebuah pemandangan yang jauh lebih buruk daripada mimpi buruk yang tak kunjung usai. Terlebih, pada Sakata yang menjadi bagian dari abu yang berterbangan di udara jelas menjadi sesuatu yang membuat semua orang terpukul luar biasa. Meski masalah mereka dengan Cross Dead sudah berakhir, namun pengorbanan Sakata bukanlah sesuatu yang bisa mereka syukuri.


Eve melirik Sou yang masih membisu, hatinya mencelos melihat air mata yang menggenang di sudut mata kekasihnya itu tanpa pernah jatuh. Trauma yang dialaminya telah mencuri lebih dari sekadar suara dan kemampuannya untuk menangis, untuk meluapkan kesedihan yang kini terkunci dalam penjara bisu. Kondisi aphasia yang dialami Sou menjelaskan seluruh kepedihan hati pria itu lebih dari cukup.


Di ruangan lain yang hanya berjarak beberapa pintu, jeritan Mafu memecah kesunyian koridor rumah sakit untuk kesekian kalinya. Suaranya parau dan putus asa, mencerminkan kehancuran jiwanya. Tubuhnya yang dipenuhi luka menggeliat gelisah, tangannya yang diperban mencengkeram seprai putih hingga kusut. "Minggir... Lepaskan aku! Sakata... dia masih ...!" teriaknya berulang-ulang, suaranya pecah oleh isak tangis yang menyayat hati.


Dengan mata sembab dan lingkaran hitam yang menghiasi wajahnya yang pucat, Soraru terus memeluk Mafu erat-erat. Tangannya yang gemetar mengusap punggung Mafu dengan lembut, bibirnya berbisik kata-kata menenangkan meski suaranya sendiri bergetar menahan tangis. "Tenanglah, Mafu ... mari hadapi ini bersama," bisiknya berulang kali.


Luz yang biasanya tenang dan netral kini terduduk di sudut kamar rawat Mafu dengan kepala terbenam dalam kedua tangannya, bermaksud untuk menemani Soraru agar pria biru itu tidak sendirian. Bahunya berguncang hebat oleh tangis yang tak lagi bisa dia bendung. "Kenapa berakhir seperti ini? Lagi-lagi aku gagal melindungi orang lain? Kenapa ...?" ratapnya dalam bisikan parau yang penuh penyesalan.


Suara derit pintu yang terbuka mengejutkan Eve dari lamunannya yang kelam. Urata melangkah masuk dengan senyum hangat yang begitu kontras dengan atmosfer duka yang menyelimuti ruangan. Rambut coklatnya sedikit berantakan, dan ada kilau kebahagiaan di matanya yang membuat dada Eve terasa seperti diremas.

My Precious Thief  ||  SakaUra [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang