Angin dingin berhembus kencang, menerbangkan debu dan abu yang beterbangan di udara. Di tengah kegelapan malam, sebuah rumah tua berdiri menyeramkan di pinggiran kota. Dari luar, rumah itu tampak kosong dan tak berpenghuni. Namun di dalamnya, sebuah adegan mengerikan sedang berlangsung.
Madotsuki berteriak penuh amarah. Matanya menyala-nyala dipenuhi kebencian saat dia melayangkan pukulan demi pukulan ke tubuh seorang pria yang tergeletak tak berdaya di hadapannya.
"Dasar tidak berguna!" raung Madotsuki. "Sialan! SIALAN KAU RED PARADE!!"
Pukulan demi pukulan terus dilayangkan tanpa henti. Darah berceceran di lantai kayu yang sudah lapuk. Namun Madotsuki seolah kerasukan, terus menghajar tanpa ampun. Hingga akhirnya, tubuh pria malang itu berhenti bergerak sama sekali.
Di sekeliling ruangan, puluhan pria berpakaian serba hitam berbaris rapi. Mereka hanya menatap kosong pemandangan sadis di hadapan mereka. Tak ada yang berani bersuara, apalagi menghentikan amukan sang pemimpin. Mereka sudah terbiasa dengan pemandangan seperti ini.
Setelah puas melampiaskan amarahnya, Madotsuki berdiri tegak. Napasnya masih terengah-engah. Dia memandang sekeliling, menatap satu per satu anak buahnya dengan tatapan mengancam. Tak ada yang berani balas menatap. Semua menunduk takut.
Madotsuki berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah papan tulis besar berdiri. Papan itu dipenuhi coretan dan diagram rumit. Di tengahnya tertulis besar-besar nama "Red Parade".
Sebuah seringai kejam tersungging di wajah Madotsuki saat memandangi papan itu. "Kau pikir bisa lolos dariku setelah mengacaukan banyak hal, Red Parade?" gumam Madotsuki. "Kau salah besar, keponakanku."
Madotsuki tertawa terbahak-bahak. Tawa yang penuh kepuasan dan kegilaan. Para anak buahnya hanya bisa berdiri kaku, menunggu perintah selanjutnya.
"Bakar tempat ini," perintah Madotsuki tiba-tiba. "Pastikan tak ada jejak yang tersisa."
Tanpa banyak bicara, para anak buah langsung bergerak. Mereka menyiramkan bensin ke seluruh penjuru rumah. Dalam hitungan menit, api berkobar membakar habis bangunan tua itu. Madotsuki berdiri memandangi kobaran api dengan senyum puas. Dia berbalik, melangkah pergi diikuti anak buahnya yang tersisa. Meninggalkan rumah yang terbakar sebagai saksi bisu rencana keji yang akan segera dimulai.
Di salah satu sudut taman mansion Eve, Sou duduk termenung di sebuah bangku kayu tua. Jemarinya dengan lembut membelai bulu-bulu halus burung hantu yang bertengger nyaman di pangkuannya. Mata Sou menerawang jauh, memikirkan segala kejadian yang sudah terjadi hingga saat ini. Burung hantu itu mengeluarkan suara 'hoot' pelan, seakan merasakan kegelisahan yang mendera hati Sou. Mengulum senyum lembut, Sou mengusap wajah burung hantu itu lembut.
"Kau sudah lebih baik, ya?" gumam Sou, jarinya kini mengusap lembut kepala Fukucchi. Burung itu memejamkan mata, menikmati sentuhan penuh kasih sayang itu. "Kita berdua terjebak di sini sementara yang lain sibuk di luar sana. Menyebalkan, bukan?"
Sou menghela napas panjang. Sudah hampir seminggu berlalu sejak tim utama ZINGAI memutuskan untuk melakukan penyelidikan intensif terkait pergerakan terakhir Madotsuki. Tidak hanya itu, mereka juga berusaha keras mengungkap misteri di balik Red Parade dan keterkaitannya dengan Sakata. Sementara rekan-rekannya sibuk di lapangan, Sou terpaksa tinggal di mansion Eve. Kurangnya personel tim alpha ZINGAI membuatnya harus mengambil tugas penjagaan markas. Sebuah tugas yang, meski penting, terasa sangat membosankan bagi agen lapangan sepertinya.
"Yah, setidaknya aku punya kau untuk menemaniku, Fukucchi," Sou tersenyum tipis, mengangkat burung hantu itu hingga mata mereka bertemu. Fukucchi mengerjap, seolah memahami ucapan Sou.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Precious Thief || SakaUra [ END ]
Conto♦️Utaite Fanfiction♦️ The Last of Mine Series Usai mendapatkan kertas bersimbol unik, Sou memutuskan untuk menyelidiki hal ini diam-diam seorang diri. Lama tak mendapatkan petunjuk, Sou menunda pencarian dan fokus untuk menjalani keseharian barunya...