Tuduhan

3.3K 401 148
                                    

Plakkk!

Hal pertama yang menyambut kedatangan mereka adalah tamparan di pipi Sagan. Pelakunya seorang pria bercincin giok seukuran petai. Gara-gara pukulan tersebut, untuk beberapa detik, orang-orang hanya bisa membatu. Tidak menyangka pria yang biasanya tampil dengan wibawa itu melayangkan serangan fisik.

Malvi yang berdiri di samping Sagan, ikut terpaku, terkejut atas tamparan tiba-tiba. Pertemuan antar kulit itu begitu nyaring. Merahnya pipi Sagan merepresentasikan sekeras apa bentuk hantaman barusan. Kalau dirinya yang berada di posisi Sagan, mungkin akan jatuh terjengkang.

"Kamu —— " Tangan si penampar terangkat. Kali ini Malvi dan beberapa orang lebih gesit. Mereka menjeda serangan berikutnya dengan memegangi pihak masing-masing.

"Pi, sabar! Ini masih di rumah sakit," kata wanita paruh baya.

"Biar! Biar kubunuh sekalian si benalu ini. Lepas, Mi! Lepasin aku!"

Pria muda berseragam polisi menekan pergerakan. "Om, kita bisa diusir kalau ribut begini."

Alih-alih berhenti, pria yang marah itu malah memelotot makin lebar. Bola matanya siap loncat dari rongga. Alisnya bergerak ke pusat, napasnya memburu, dan telunjuknya teracung ke wajah Sagan.

"Setelah ini nggak ada ampun, sialan! Kamu akan ditangkap lagi, membusuk di penjara. Cuih."

Malvi terkejut ketika pria yang marah itu meludah ke muka Sagan. Karena Malvi berada di sebelahnya, cipratan saliva itu mengenai pipinya juga. Refleks dia memekik dan hendak merangsek, tapi Sagan menahan pergerakannya.

"Om," desis pria berseragam polisi. Ia menarik paksa pria yang marah, menjauhkan jarak dengan Sagan. "Gan, sebaiknya lo pergi."

"Qwin ——"

Pria berseragam polisi menggeleng tegas. Ia melirik Malvi, mengisyaratkan agar gadis itu menyeret Sagan. Seakan paham, Malvi akhirnya menarik sang kekasih. Menjauhkan mereka dari koridor berisi jutaan harapan untuk keselamatan pasien.

*
*
*

"Qwin baru selesai ditangani. Dia baik-baik saja, cuma luka ringan di wajah kiri."

Malvi dan Sagan tidak langsung menjawab. Mereka sedang membersihkan wajah atas cipratan ludah beberapa saat lalu. Tampaknya emosi pria yang marah sudah bisa dikontrol. Marshal, pria muda berseragam polisi, kini mendatangi Malvi dan Sagan di pelataran parkir.

"Arba gimana?"

Ada rasa sakit yang mencubit hati Malvi saat Sagan bertanya. Suaranya sarat akan kekhawatiran. Matanya memancarkan harapan dan putus asa di waktu yang sama. Selalu, selalu begini. Sakit dan marah di hati Malvi akan memercik tiap satu nama itu diucapkan Sagan.

"Luka parah, butuh tindakan darurat. Sekarang masih ditangani."

Malvi melihat Sagan mengusap wajah dengan frustrasi. "Kecelakaannya karena apa, Shal? Kenapa si Sulthan bilang gue akan ditangkap lagi? Gue nggak ngapa-ngapain!"

"Sebaiknya lo siapin diri untuk dimintai keterangan," kata Marshal sambil menepuk-nepuk pundak Sagan.

"Kenapa?" Malvi mewakili keheranan Sagan.

Malvi mendapat dongakan wajah dari Marshal. Mereka tidak saling kenal. Tapi untuk suatu alasan, dia merasa tidak nyaman ditatap begini. Marshal seperti menyensor Malvi dari ujung ke ujung.

"Anda Malvina?"

Malvi mengangguk kaku.

"Itu artinya bukan cuma Sagan, tapi Anda juga, Mbak."

Raut bingung terlukis di wajah Malvi dan Sagan. Marshal menegakkan kepala, mengatur napas, sebelum akhirnya melanjutkan.

"Om Sulthan naikin kasus ini, langsung minta dibikin laporan."

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang