Akuarium (1)

1.1K 221 99
                                    

"Nanti aku mau take a picture di depan ikan-ikan!"

"Okey."

"Not only one, Papa. Tapi banyak."

"Siap."

"Nanti fotonya di-print, then put on the album, ya."

"Boleh. Apa, sih, yang nggak buat Qwin?"

"Terus ——"

"Qwin, he's driving. Let him be focused, okay?"

Alih-alih menuruti nasihat wanita di kursi belakang, Qwin kembali asyik berceloteh. Ia yang duduk di sebelah Sagan kembali mengajak ayahnya bicara. Sambil mendengarkan, Sagan melirik spion atas. Tatapannya mengartikan : aman, nggak usah khawatir.

Mereka dalam perjalanan menuju wisata akuarium raksasa. Tadinya seperti rencana awal, hanya Qwin dan Arletta. Tapi pada akhirnya si Panah Runcing menyetujui rengekan Qwin agar Sagan ikut.

Biasanya Arletta tidak mau berpartisipasi jika ada Sagan. Tapi demi melihat senyum anaknya, juga membayar "utang" kebersamaan sebelumnya, ia terpaksa setuju. Untuk mengantisipasi beberapa hal, Arletta sengaja menjaga jarak. Ia duduk di kursi belakangan, hanya bicara jika diperlukan, bahkan membawa tablet elektronik berisi pekerjaan kantor untuk menyibukkan diri.

Dari kemarin Qwin sudah ribut mengingatkan Arletta. Persis seperti dirinya kalau sedang nge-push bawahan. Tiap setengah jam sekali nanya. Memang mengesalkan, tapi kalau dipikir lagi, Qwin tidak pernah sebahagia ini. Matanya bersinarkan kebahagiaan, bibirnya tertarik di kedua sudut, dan air mukanya menyiratkan kegirangan. Dia bahkan tidak berhenti bicara sejak Sagan datang.

"Kok, masih panggil Kancil? Emangnya dia nggak marah kamu panggil begitu?"

"Dia nggak pernah marah, Pa."

"Baik ju——"

Ucapan Sagan terinterupsi oleh dering ponsel di saku Sagan. Sambil tetap menjaga fokus pada jalan, ia memeriksa benda pipih itu. Nama Malvi tertera di sana. Belum sempat ia buka suara, Qwin sudah berceloteh lagi.

"No calling while driving, Papa!"

"Cuma sebentar," kata Sagan. Terhadap Malvi di sambungan telepon ia berkata, "Iya, Na. Kenapa?"

Arletta mengatur napas, tangannya berpegangan erat pada sabuk. Dalam hati ia berharap anaknya kembali menegur soal no calling while driving. Bagaimanapun, kecelakaan malam itu membuatnya trauma. Makanya sampai sekarang ia belum berani nyetir sendiri. Marshal yang paling sering dia repoti.

"Mas lagi di jalan." Sagan berhenti bicara sejenak. "Lumayan. Tadi pas ngecek di maps emang agak macet."

Walau laju mobil berkurangan, Arletta tetap mengencangkan pegangan.

"Mobil, dong. Kalau naik motor mana bisa?" ucap Sagan lagi. Ia kelihatan diam mendengarkan. "Hallo, Na? Nggak kedengeran, ribut banget di situ. Hallo?"

Sagan melihat layar ponselnya sekilas, kemudian kembali menaruhnya di kuping.

Arletta mencolek bahu Qwin, anak itu mendongak. Ia kemudian mengisyaratkan no calling while driving. Qwin mengangguk paham. Arletta menggestur lagi——lewat mata juga bisikan—— yang pastinya dimengerti Qwin.

"Papa, calling while driving itu bahaya," kata Qwin saat Sagan masih bilang hallo, Na, suaranya putus-putus. "Berhenti dulu atau jangan angkat sampai kita arrived."

Sagan menjauhkan ponsel dari kuping. Notifikasi reconnecting muncul di layar. Tanpa aba-aba Qwin merebut benda pipih itu dari tangannya. Sagan tidak bisa mengutarakan protes sebab matanya fokus ke jalan.

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang