Untuk Para Anak Perempuan

1.5K 243 267
                                    

Qwin menyambut kehadiran Arletta dengan dahi berkerut. Kepalanya mendongak ke bagian dalam mobil, mencari sesuatu.

"Papa mana?"

"Ada urusan," Arletta menjawab sambil tersenyum. Anaknya entah sadar atau tidak bahwa sunggingan barusan amat dipaksakan. "Yuk!"

Setelah Qwin naik, Arletta membantunya memasangkan sabuk pengaman. Anak di sebelahnya sempat memandang dengan tatapan waspada——dia sadar soal senyum ibunya yang dipaksakan. Entah ada masalah apa, tapi hawa-hawanya tidak baik. Wah, jangan-jangan Papa sama Mommy masih belum baikan. Semalam memang ribut-ribut di telepon.

"Mommy, kok, kita nggak ke rumah Papa?" Qwin bertanya saat mobil yang dikendarai ibunya menjauhi arah biasa.

"Kontrakan Papa memang bukan ke situ, kan?"

"The new one, Mommy," kata Qwin. "Dua tingkat, kosong, dan punya kitchen set bagus."

"Kita pulang ke rumah saja. Papa nggak ada di sana."

Qwin ingin menukas tapi ditahannya kata-kata di ujung lidah.

Arletta lanjut menyetir. Jantungnya berdebar tidak karuan. Karena tidak mau ambil risiko, ia mengemudi dengan sangat pelan. Yang bisa ia lakukan memang cuma itu, meskipun keinginantahuannya sangat besar terkait berita Marshal tadi. Sepanjang jalan itu dia bertanya-tanya, kenapa bisa Sagan yang memiliki dua butir obat yang hilang? Apa yang sebenarnya terjadi?

Dan rasa penasarannya terjawab kurang dari 24 jam. Polisi langsung menetapkan Sagan sebagai tersangka. Bukan saja berdasarkan bukti yang didapat, lelaki itu juga akhirnya mengakui perbuatannya.

"Sudah lama saya dendam sama dia, tapi yang men-trigger saya memang kejadian hari itu. Waktu dia meneriaki anak saya."

"Jadi sejak saat itu Anda merancang rencana pembunuhan?"

Sagan mengangguk.

"Dari mana Anda bisa dapat ide bahwa anti depresan bisa membunuh korban?"

"Internet."

"Jadi Anda memang sudah tahu bahwa anti depresan bisa sangat fatal untuk penderita hipertensi?"

Sekali lagi Sagan mengangguk. Polisi mencatat pengakuan, sekaligus mengajukan pertanyaan baru.

"Obatnya saya ambil dari toples milik Arba, waktu itu kebetulan ketinggalan. Di hari yang sama, setelah punya kesempatan, saya menaruhnya di tempat Pak Sulthan."

"Kesempatan seperti apa?"

"Saya pura-pura ke toilet di lantai dua, hari Jumat tanggal 12 Desember. Waktu itu kamar Pak Sulthan kosong, dia dan istrinya lagi di balkon."

"Gimana caranya Anda melakukan itu tanpa sidik jari?"

"Saya pakai sarung tangan. Benda itu mudah saya dapatkan di kafe tempat kerja. Sekarang mungkin sarung tangan itu sudah bergabung di TPU, karena saya langsung buang setelah melakukannya."

Lagi, ucapan Sagan diabadikan dalam catatan sebagai pelengkap dokumen.

"Satu pertanyaan terakhir," kata petugas. Matanya lurus ke arah Sagan. "Jika memang Anda menghilangkan sarung tangan untuk melenyapkan bukti, lantas kenapa dua butir obat itu Anda simpan?"

Kali ini Sagan diam sejenak. Kepalanya merunduk, tangannya gemetar di bawah meja. Ketika petugas menekan sekali lagi barulah dia mengemukakan alasannya.

"Kkkkkarena tadinya saya mau menaruh obat itu di tttempat orang lain."

"Untuk apa?"

"Aaa aagar saya ttterlepas dari tuduhan."

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang