"Sudah pergi dari tadi, Gan. "
Bahu Sagan agak merosot saat mendengar ucapan Vika. Padahal sudah berangkat satu jam lebih pagi, tapi tetap saja kalah cepat. Huft. Matanya mencuri pandang pada wanita paruh baya di depannya. Meneliti adakah perbedaan cara menatap Vika terhadapnya sekarang.
"Kalau gitu saya pamit buat nyusul, ya, Tante. Mari."
"Hati-hati, nggak usah kebut."
Nada suara wanita itu tidak berubah. Tatapannya juga masih sehangat dulu. Yang berbeda adalah sikapnya. Tidak terlalu kentara, tapi Sagan merasakannya. Biasanya Vika akan memintanya masuk dulu, atau bilang tunggu supaya dibungkuskan makan.
Sagan sadar perbedaan itu bukan yang paling penting. Sekarang menemui Malvi adalah prioritas. Jadi, setelah menunggangi motornya, ia melaju secepat yang ia bisa. Pikirannya fokus pada gadis yang sukses membuatnya tidak bisa tidur semalamam.
Sesampainya di tempat parkir The Kevik, Sagan melihat Marshal keluar dari pintu. Ada perasaan tidak nyaman mendapati si polisi muda ada di kafe sepagi ini. Ini hari Sabtu, Marshal mungkin sedang tidak bertugas. Dia kelihatan lebih santai dengan kaos polos putih. Otot tangannya tercetak lebih jelas.
"Ngapain, Shal?" tanya Sagan ketika pria tinggi tegap itu berjalan ke arah mobilnya. Jaraknya tidak terlalu jauh dengan posisi Sagan yang masih di atas motor.
"Habis pesan katering buat acara Qwin."
Itu artinya besok. Dengan segala revisi, akhirnya ditetapkan bahwa acara dilangsungkan di rumah Sulthan. Sagan setengah mati ingin menolak datang, tapi tidak sampai hati. Ia memang belum berdamai dengan Sulthan, tapi kalau absen bisa-bisa Qwin kecewa.
"Arba yang nyuruh datang sepagi ini?"
Sebelum pria itu menjawab, atensi Sagan teralihkan oleh kehadiran Malvi yang muncul dari pintu. Ia melewati Sagan tanpa sapaan. Tangannya menenteng sesuatu.
"Sekali lagi ketinggalan nggak aku bikinin lagi," ujar Malvi setelah sampai di depan Marshal. Ia mengangsurkan tote bag yang dijinjingnya.
"Makasih."
"Habisin, ya. Awas kalau dibuang."
"Siap."
Sagan memalingkan muka. Hatinya dijalari panas yang tidak bisa dilukiskan. Ibarat luka, sudah terkoyak, malah ditaburi garam. Pedih tak terkira. Cara Malvi berinteraksi dengan Marshal sukses membuat harapannya meredup. Gadisnya kelihatan baik-baik saja di hari pertama putus.
"Duluan, Gan."
Marshal memasuki mobil, sementara Malvi bergegas ke dalam kafe. Seperti sebelumnya, gadis itu cuma lewat di depan Sagan. Meski momennya sudah rusak, lelaki itu tetap turun dari motor. Mengejar sang mantan yang baru memasuki bagian dalam kafe.
"Na," panggil Sagan. "Jangan kayak gini. Ayo, bicara."
Malvi berhenti, kemudian balik badan menghadap Sagan.
Sagan mencari-cari sisi terluka di mata gadis itu. Ternyata tidak ada. Semalam Malvi tidur nyenyak.
"Mau bicara apa?" ucap Malvi. Sikapnya tenang sekali. "Aku sibuk hari ini, jadi jangan lama-lama."
"Jangan putus, Na. Mas mohon."
Malvi memandang tanpa minat.
"Mas minta maaf karena sering bikin kamu ngerasa tersisih atau ragu." Sagan mengutarakan keributan kepalanya yang semalam. "Tapi Mas sama Arba beneran sudah selesai."
Malvi tidak berkomentar, tatapannya skeptis. Sagan menggigit bibir bawah, sorot matanya penuh permohonan. Sepi menyelimuti suasana pagi itu. Tidak ada tanda Malvi akan menjawab. Tanpa sadar Sagan mengepalkan tangan. Ia mencari-cari kata yang disiapkannya sejak malam tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
ChickLitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...