Arletta terbangun dengan kondisi yang lebih baik. Kepalanya tidak lagi pengar dan suhu tubuhnya kembali normal. Hanya badannya yang masih lemas, macam orang tidak makan dua hari.
Ia memeriksa ponsel dan terkejut melihat jam yang tertera. Ternyata sudah selama itu dia tidur. Ada banyak notifikasi yang masuk, tapi tidak satupun diperiksanya.
"SULTHAAAN!"
Arletta terperanjat mendengar kegaduhan dari lantai satu. Bukan cuma teriakan yang menggema, tapi jeblakan pintu yang super dahsyat. Pelakunya pasti menendang jati tersebut dengan kekuatan penuh. Yang lebih mengagetkan lagi, suara teriakan tadi diyakininya milik Sagan.
Arletta mendengar suara pecahan keramik. Refleks ia berlari keluar kamar, celingukan mencari arah suara. Ketika kakinya yang masih lemas menginjak lantai satu, raungan amarah terdengar lagi. Kali ini derap kaki, disusul gedebuk keras, dan pecahan kaca.
Arletta terpaku melihat ke sisi kanan. Kakinya tidak bisa bergerak. Ada ibunya yang diam ketakutan, tiga ART yang gemetar, serta panorama yang membuat semua orang bingung harus apa. Sulthan, Sagan, dan dua petugas keamanan tengah berembuk badan. Tubuh Sagan dipiting dua satpam dari belakang, sementara lelaki itu mendesak Sulthan ke lemari kaca yang telah pecah. Pelipis kiri Sagan bercucuran darah tapi tidak ada tanda amarahnya akan reda.
"Dia bukan anak haram!" Sagan berteriak tepat di wajah Sulthan. Ludah dan keringat menyiprat. Desakan tangan Sagan makin kuat hingga pria di hadapannya kesulitan memberi perlawanan. "BUKAN! ANAK! HARAM!"
Sulthan mencakar-cakar kuping lawannya namun serangan itu tidak berarti. Siku Sagan menindas lengan atas, sementara jemarinya menarik kerah baju kuat-kuat. Belum pernah dilihatnya Sagan semarah ini. Dengan wajah merah, mata memelotot, alis naik ke atas, urat yang menyembul, dan napas memburu. Sekilas Sulthan tidak mengenalinya.
Sulthan mengira Sagan kerasukan setan. Pasalnya, ia sempat melemparkan vas bunga ke pelipis si benalu itu. Tapi rupanya robekan kulit dan kucuran darah yang kini merembes ke kaosnya tidak menghentikan keberingasan. Tenaganya sama sekali tidak berkurang meski satpam rumahnya sudah memiting dari belakang.
"Mana janji lo, Sulthan?" pekik Sagan kesekian kali. "Lo sudah janji!"
Sulthan menjambak rambut Sagan. "Sejak awal, kamu yang mengingkari janji."
"BAGIAN MANA?" seru Sagan lantang, tidak gentar meski akar rambutnya minta ampun ditarik Sulthan. "Gue tinggalin dia, gue tanggung kebencian dia, gue lakuin semua yang lo mau!"
Sulthan memelotot sambil mendengus.
"HHHANJIIINGGGG!"
Sagan berteriak lagi. Orang-orang yang mendengar seperti merasakan gelenyar di hatinya. Seruan itu perpaduan antara benci, marah, frutrasi, dan putus asa. Suaranya seakan-akan membelah langit-langit rumah.
"Papa!" Qwin tiba-tiba muncul dari luar rumah. Masih mengenakan seragam sekolah, ia menangis sambil menghampiri kegaduhan. "Papaaa."
Seperti tersadar dari kebingungan, Arletta bergegas sebelum anaknya menghampiri keributan. "Qwin, jangan!"
"Papaaa."
Sulthan merasakan kuncian Sagan melemah. Lama kelamaan cengkeramannya juga terhenti. Terhadap petugas keamanan yang menelikung dari belakang, Sagan minta dilepaskan. Suaranya lemah dan penuh permohonan.
Dua pria itu baru melepaskan Sagan setelah majikannya menitah. Sesaat hanya hening yang menguasai ruangan. Sagan mendongak ke arah Qwin, tatapannya getir sampai-sampai tangis anaknya jatuh lagi.
"Papa." Qwin melepaskan diri dari Arletta dan menghampiri sang ayah. "Papa, you're bleeding."
Sagan menyambut anaknya dan bilang semuanya baik-baik saja. Ia menambahkan senyum supaya Qwin percaya. Air mata bocah itu masih jatuh, jadi Sagan menyekanya dengan punggung tangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
ChickLitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...