"Nggak bisa lebih mepet lagi?" Malvi berbicara dengan sesorang lewat telepon The Kevik. "Ini Pesanan Roro Jongrang yang ke—— " Ia menjeda ucapan sambil menghitung jari. "Ketiga! Ya, ketiga, Bapak Marshal yang terhormat."
Malvi mendengar deheman singkat di sambungan telepon. Kalau mereka sedang bersitatap, ia bisa melihat si polisi muda itu mengusap dagu dengan tampang minta dikasihani.
"Tolong banget, deh, Malv," sambung Marshal. "Waktu itu 150 bisa setengah hari, kan?"
Kalau tidak menerapkan visi customer centric, Malvi ingin sekali memutus panggilan. Pertama, si polisi muda hanya mau bernego dengan dirinya. Kedua, jumlah pesanan dan batas waktunya selalu di luar nalar (Malvi menyebutnya Pesanan Roro Jongrang). Ia agak menyesal telah menyelesaikan 150 pesanan waktu itu. Segala kerepotannya dengan Marshal dimulai dari sana.
"Waktu itu bisa selesai karena ada faktor lain." Yakni, jurus emosi jiwa pada pacar yang omdo. "Sekarang nggak yakin bisa menuhin. Sudah masuk tanggal gajian, lagi rame juga di sini."
Malvi menatap tab yang sedang dipegangnya. Sudah terlalu lama ia bernego alot. Walau sejauh ini cuannya lancar dan oke, tetap saja ia harus menimbang antara kapabilitas dan jumlah pesanan. Apalagi tadi katanya bukan lagi VIP, melainkan VVVIP. Entah apa arti dari V yang sampai diulang 3 kali.
"Jadi nggak bisa, ya?" Jeda sebentar. "Ya udah deh, saya coba ke kafe seberang kalau gitu."
Alarm di kepala Malvi berbunyi. Dengan cepat ia bepikir keras akan negosiasi terbaik. Kalau orderan VVVIP ini jatuh ke tangan rival, bisa bikin gigit jari. Sejauh ini suntikan dari investor memang cukup mengkokohkan pondasi bisnis, tapi Malvi tidak mau melewatkan kesempatan di bagiannya.
"Kalau paralel gitu bisa nggak? Jadi nanti 150 datang duluan, sisanya dikirim per50."
Jeda lagi. Malvi menunggu dengan harap-harap cemas. Telunjuknya memuntir kabel telepon.
"Oke, deal."
Malvi bersorak dalam hati.
"Langsung DP, ya?"
Malvi mengiakan. Setelah cas-cis-cus konfirmasi pesanan, ia menutup telepon sambil memeriksa tab-nya lagi.
Ia memutar otak terkait apa saja yang mesti disiapkan. Cek bahan-bahan sudah pasti, selanjutnya——Dering ponsel di saku celana menginterupsi gerakan. Saat melihat kontak yang menghubungi, gadis yang mengikat rambut ala ekor kuda itu menaikkan alis. Kenapa nelpon lagi, sih? Pikirnya.
"Ada yang kelupaan?" tanya Malvi seraya melihat layar tab.
"Nggak. Tapi ini sudah ketiga kali, masa nggak ngerti juga."
"Memang nggak ngerti."
"Kalau nelpon ke nomor kafe, berarti memang urusan pesanan. Sementara kalau ke nomormu, berarti personal."
Malvi tidak terlalu menyimak. Ia sedang menghitung ulang kebuthan bahan untuk pesanan VVVIP tadi. Dia kehabisan margarin, beras, dan susu bubuk. Wah, harus beli hari ini.
"Dengar nggak, Malv?"
"Nggak akan nyahut kalau masih manggil Malv."
Kekehan terdengar di ujung telepon. Malvi berjalan ke arah dapur. Matanya berkelana mencari Kayas dan Mylo. Teringat ini bukan shift mereka dan ada dua pegawai yang cuti, mau tidak mau ia bergegas ke ruangannya.
"Oke-oke, Malvina. Sudah, tuh. Saya manggil namanya dengan benar."
Di ruangan manajer terdapat dua meja bersebelahan. Milik Sagan dan dirinya. Malvi mengambil kunci mobil di laci Sagan dan tas selempang di atas meja miliknya. Sambil memastikan kipas mini ada di dalam tas, ia berkata, "Sorry, tadi lagi ngomongin apa, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
Chick-LitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...