Secuil Kilas Balik

1.6K 267 44
                                    

"Ay, aku hamil."

Sagan menelan ludah ketika kata-kata itu meluncur lewat sambungan telepon. Cowok jangkung itu diam sejenak. Memastikan bahwa yang disampaikan pacarnya bukan bualan apalagi prank.

"Beneran?" tanya Sagan. Meski gusar, cowok itu tetap menjaga nada suara.

Beberapa menit lalu Arletta mengirimnya pesan : aku mau ngomong. Walau hanya tiga kata, atmosfer di sekitar langsung berubah. Konsentrasi Sagan lenyap. Gitarnya tidak jadi digenjring. Bahkan Kayas sampai melongo saat kawannya itu turun dari panggung tanpa fafifu wasweswos.

"Sudah dicek?" tanya Sagan lagi.

"Belum, tapi aku yakin banget."

Sagan menghela napas kemudian bertanya lagi, "Berapa persen keyakinanmu soal ini?"

"Sembilan puluh persen." Arletta mendesah getir. "Aku sudah telat lima mingguan."

Sagan menggigit bibir. Jemari tangannya menggaruk tengkuk. Ia juga kembali menelan saliva, membuat jakunnya bergerak lambat.

Sagan mengingat-ingat kapan terakhir kali mereka melakukannya. Sekitar dua bulan lalu kalau tidak salah. Di rumahnya, karena saat itu bapaknya sedang tidak ada. Eh, tunggu. Sagan memutar lagi otaknya. Masih ada lagi rupanya. Di acara kampus. Daerah pegunungan yang menjadi tempat acara terasa begitu dingin, membuat beberapa mahasiswa diam-diam menyelundupkan alkohol. Mereka ikut mencicipi minuman haram itu dan ...

Sagan menggaruk tengkuk, mengingat lebih jauh. Malam itu mereka memisahkan diri dari gerombolan mahasiswa lain. Berduaan di kamar. Meremas sana-sini. Karena terlalu mabuk, Sagan lupa-lupa ingat setelahnya. Tahu-tahu sudah pagi sementara busana mereka tercecer di lantai.

Aduh, gawat! Kalau Arletta memang hamil, berarti keyakinannya malam itu keliru. Kekasihnya sempat menolak lantaran Sagan tidak bawa pengaman. Tapi ia mengabaikannya, merasa akan seaman sebelum-sebelumnya.

Sekarang Sagan bimbang. Harus senang atau panik, atau mungkin keduanya.

Senang karena akhirnya ia punya alasan untuk menikahi perempuan yang dicintainya. Panik karena rasa senang tadi hanya sekian persen dari huru-hara mengerikan di kemudian hari. Ia akan digampar bapaknya, juga dihantam orang tua Arletta yang sejak dulu tidak terlalu suka anak gadisnya ——yang ternyata bukan gadis lagi—— berpacaran dengan Sagan.

"Ay, say something please." Suara Arletta memecah lamunan Sagan. Nadanya khawatir sekali. Kalau mereka sedang saling hadap, Sagan pasti bisa melihat mata kekasihnya berkaca-kaca.

"Besok kita coba tes buat mastiin," kata Sagan. "Gimana?"

"Nggak sekarang saja?"

Sagan melirik jam di ponsel. Pukul sebelas lewat sepuluh menit. Satu-satunya yang paling memungkinkan memang cek memakai testpack. Mustahil ada klinik kandungan yang beroperasi dua puluh empat jam kecuali penanganan bersalin.

Kulit Sagan meremang menyadari hal itu. Beberapa bulan ke depan ia akan memikirkan klinik kandungan juga. Tapi bukan untuk perihal sepele seperti testpack, melainkan Arletta yang akan melahirkan.

Jantung Sagan berdentam-dentam makin keras. Terlalu jauh rasanya membayangkan soal persalinan. Ia membuang bayangan Arletta yang mulas-mulas sementara dirinya panik seperti orang tolol. Cepat, Sagan mengatur napas. Perlu pembendaharaan kata yang baik untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. Arletta tidak bisa menunggu dengan cemas.

"Malam ini cek dulu pakai testpack. Besok baru ke dokter. Gimana?" Setelah mengucapkannya, Sagan merasakan kecemasan kekasihnya merangkak. "Sayang, kamu tenang, ya. Aku ke situ sekarang."

*
*
*

Satu jam kemudian Sagan sudah sampai di rumah Arletta, tepatnya di kamar. Orang tua perempuan itu sedang bertugas di luar kota. Tidak heran Sagan bisa masuk tanpa merasa sungkan. Napas Sagan terengah. Rambutnya lembap oleh keringat. Alat tes kehamilan yang dibelinya saat di perjalanan ia serahkan pada kekasihnya.

"Aku cek sendiri, kamu minum dulu sana."

Sagan bungkam. Sementara perempuan itu masuk ke toilet, Sagan menunggu di balik pintu. Walau ngos-ngosan ia tidak menuruti pilihan Arletta ——soal minum dulu. Kerongkongannya tidak bisa menerima apapun untuk saat ini.

Sagan merasa jarum jam bergerak lebih lambat. Pintu di sampingnya tidak kunjung terbuka. Ia tidak sabar ingin mengetuk. Tapi diurungkannya niat itu. Kalau lama begini, jawabannya cukup jelas. Di dalam Arletta pasti sedang membatu dengan perasaan tidak menentu.

Sagan menggigit bibir sambil memandangi pintu toilet. Rasa paniknya semakin merangkak, terutama saat ingat wajah bengis ayah Arletta. Semoga Om Sulthan masih punya nurani, harapnya. Dihina lagi tidak apa-apa, asal jangan diminta putus.

Kalau bisa lolos dari masalah ini, Sagan berjanji akan berubah. Dia akan selesaikan skripsinya, sidang di akhir tahun, dan melamar kerja tanpa pilih-pilih. Tidak apa-apa hiatus sementata dari One Way, yang penting bisa membuktikan pada ayah Arletta bahwa dirinya bukan benalu.

Sepinya kamar membuat Sagan seperti bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Untuk sekian kali, mata memelotot itu muncul di benak, lengkap dengan kata-kata pedasnya. Juga cincin giok sebesar biji petai. Aduh! Sepertinya apa yang berkelebat di benak hanya sebagian kecil. Tidak ada ayah yang legowo saat tahu anak gadisnya hamil di luar nikah. Mengingat bagaimana sikap ayah Arletta selama ini, Sagan rasa mimpi buruk sedang melambai-lambai.

Tidak. Sagan menggeleng. Bukan saatnya panik. Ada yang jauh lebih penting.

"Apapun hasilnya, kita akan laluin sama-sama, Ay," kata Sagan sambil menatap ke arah pintu . Begitu mantap padahal dadanya bertalu-talu.

Satu, dua, tiga detik, pintu belum juga terbuka. Sagan tetap tegak sambil mempersiapkan diri. Ketika waktu merangkak lima detik lagi barulah Arletta memunculkan batang hidung. Mukanya merah menahan tangis. Sagan segera meraupnya dalam pelukan.

"Sorry, Ay. Really sorry," katanya ketika Arletta mulai menangis. Bahunya naik turun. Butiran air menempel di kaos Sagan bagian dada.

Untuk suatu alasan Sagan memang merasa sangat bersalah. Perbuatannya telah membuat Arletta menangis seperti ini. Perihal mau sama mau tidak masuk kamus rasa sesalnya. Sebagian besar ini adalah salahnya. Kenapa mabuk, kenapa tidak pakai pengaman.

"Aku harus gimana?" Arletta sesenggukan. "Kuliahku gimana? Papi Mami akan kecewa. Aku nggak siap jadi ibu. Gimana ini?"

Sagan tidak tahu jawabannya sebab ia pun bingung. Tapi di situasi ini ia memaksa otaknya bekerja keras. Bicara yang tidak-tidak hanya akan membuat Arletta semakin frustrasi. Kalau sudah begitu, rasa panik akan meningkat. Itu artinya impuls otaknya akan kacau. Masalah tidak akan terpecahkan sama sekali.

"Seperti yang aku bilang, kita akan lalui sama-sama."

Arletta melepas pelukannya. Ia mendongak untuk melihat wajah Sagan. Sisa air matanya menetes melalui dagu.

"Aku akan tanggung jawab. Aku pasti nikahi kamu."

"Aku nggak yakin Papi akan setuju."

"Kita coba ngomong." Mata hitam Sagan menyorot lekat-lekat. "Kalau ada solusi yang lebih baik dari Papi, kita pertimbangin."

Arletta melihat kesungguhan dari pancaran kekasihnya. Tidak sampai hati ia menukas. Sagan terlalu yakin. Orang tua Arletta tidak semuda itu diajak diskusi apalagi masalah sekrusial ini. Mulai terbayang di benak Arletta bagaimana nantinya reaksi ayah ibunya.

"Aku pantas nerima apapun dari orang tua kamu setelah mereka dengar berita ini." Seperti paham yang ada di pikiran Arletta, Sagan berujar. "Buruk bahkan yang terburuk sekalipun. Sudah, ya. Tenangin diri kamu dulu."

Arletta menangis lagi. Sagan hanya menghela napas. Tangannya kembali meraup Arletta dalam pelukan. Ia mengusap-usap rambut dan punggung perempuanya. Menjadikah dadanya wadah dari tumpahan tangis Arletta yang semakin keras.

-bersambung

28 Agustus 2023

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang