"Ay—— "
"Sudah kumaafkan. Kamu nggak usah ngerasa terbebani lagi. Sekarang kita fokus dulu ke sidang tuntutanmu. Orang yang kumintai tolong cukup kompeten. Kamu pasti bebas."
Arletta menatap nanar wajah Sagan yang babak belur. Sudut mata kirinya robek, ujung bibir bengkak, dan bekas cakaran di leher melintang basah. Semua luka itu belum termasuk lebam di sekujur badan. Meski belum ditunjukkan secara langsung, Arletta yakin jejak keunguan mampir di beberapa titik. Tadi ketika Sagan muncul bersama petugas, jalannya agak diseret. Pun saat duduk, kekasihnya itu tampat berjengit sesaat sebelum menemukan posisi yang nyaman.
"Kalaupun kuasa hukumnya nggak bisa menangin pembelaan." Arletta menjeda kalimat. Ketika Sagan mendongak, dilihatnya perempuan itu sedang menunduk. Tangannya menyeka wajah dengan cepat. "Kami pasti tunggu sampai kamu bebas."
Hati Sagan remuk ditikam sembilu. Ingin rasa ia memeluk Arletta yang sedang mati-matian menahan tangis. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang disayangi terluka. Rasa kebencian Sagan pada diri sendiri berkembang beberapa kali lipat. Banyak kata seandainya yang ingin ia lontarkan tapi percuma juga.
"Nggak ada gunanya nunggu aku, Ay," ucap Sagan dengan dada berdenyut. "Lebih baik kamu pulang."
"Ke mana?"
"Orang tuamu."
Arletta mendongak. Wajahnya memerah. Bukan karena riasan, tapi perpaduan emosi dan kecewa. Sudut matanya meloloskan satu bulir lagi. Secepat kilat ia menyekanya dengan punggung tangan.
"Aku cuma bisa bikin kamu repot. Nggak ada satupun hal baik yang bisa aku kerjain. Bahkan untuk cari makanpun, aku malah tambah bikin keadaan makin kacau. Aku rusak, Arbaletta!"
"Kamu tahu, aku benci banget sama kerendahan diri kamu!" sahut Arletta. "Kalau ngerasa semuanya kacau di bawah kendali kamu, maka ini saatnya aku yang selesaikan. Kamu diam, tunggu sampai persidangan selesai, semua biar aku yang urus!"
Sagan hendak menyela tapi Arletta belum selesai. Wajah memerahnya bukan lagi karena sendu, melainkan marah yang menggebu. Tidak ada air mata, yang ada hanya api mata.
"Jangan sekalipun suruh aku pulang ke tempat lain, karena kamulah rumahku!Aku dan Bayik akan baik-baik saja," sambungnya. "Tapi meski begitu, bukan berarti kamu bisa pasrah. Apapun yang terjadi, kami akan tunggu kamu. Dan satu lagi."
Lengang sesaat. Arletta memaksa Sagan untuk saling tatap. Perempuan itu mengangkat tangan kirinya, yang di bagian jari manis sudah dilingkari cincin pemberian Sagan tempo lalu.
"Kamu janji akan nikahi aku," kata Arletta. "Jadi, angkat kepala kamu. Penuhi janji itu. Jadilah suamiku dan ayah yang baik untuk Bayik."
Percakapan mereka terjeda ketika petugas menginfokan waktu kunjungan telah habis. Sebelum pamit, Arletta menegaskan sekali lagi, bahwa ia akan tetap bertahan maka Sagan pun harus. Perempuan itu beringsut kemudian meninggalkan rumah tahanan dengan segebung beban di pundak.
Di hadapan Sagan, ia memang berkeras untuk tidak menyerah. Namun faktanya, ia semakin terdorong pada jurang keputusasaan. Ini seperti titik terendah. Tidak ada jalan keluar. Semua gelap.
Perhitungannya sia-sia. Kacau. Melenceng dari rencana. Harapannya untuk lanjut kuliah di tahun baru benar-benar raib. Jangankan mengejar ketertinggalan, bisa terlepas dari jerat kemeranaan saja rasanya mustahil.
Kurang dari sehari tabungannya terkuras untuk menyewa kuasa hukum. Ia hanya bisa berharap tubuhnya sehat sehingga tidak ada risiko apapun saat melahirkan nanti. Lupakan persalinan dengan metode operasi. Simpanannya sekarang hanya cukup untuk bersalin di bidan terdekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
ChickLitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...