Kalau Ternyata Bukan Jodoh

1.2K 208 38
                                    

"Mommy, please. I'm begging you. Telponin Papa sekarang."

"Sorry, Qwin. Nggak bisa."

"Why?"

"Mommy nggak bisa turuti semua yang kamu mau."

Qwin menarik napas, siap merengek lebih parah. Arletta mengerling sambil menggeleng tegas. Pertempuran siap dimulai.

Wajah Qwin ditekuk dengan bibir melengkung ke atas. Kulit wajahnya yang seputih susu berubah pink. Tangis yang awalnya berupa dengusan lama-lama menggema di kamar. Napas sesenggukan keluar, berpadu dengan isakan. Air mata makin berleleran mengenai pipi. Ingus ikut merembes.

Arletta mendecakan lidah. Ingin sekali berteriak, atau mengusir Qwin dari kamar inapnya. Mendengar rengekan Qwin yang makin parah, seketika kepalanya berdenyut lagi, bahkan sendi di ruas jarinya semakin ngilu. Ia mendongak ke langit-langit, mengatur napas meski keinginan berteriak itu makin membuncah.

Oh, sial! Ia tidak bisa sabar. Terlalu ribut isi kepalanya. 

Kata dokter, walau keadaannya semakin membaik, Arletta harus tetap rajin kontrol. Itu artinya, Arletta masih harus bulak-balik rumah sakit. Demi Tuhan, Arletta sudah sangat muak di sini. Hari-hari menjemukan, bertemu beberapa dokter, menjalani terapi tidak berkesudahan. Saking bosannya, emosinya menjadi lebih mudah terpercik. Setiap hari ada saja peeawat yang kena omelannya.

"Kamu itu suster atau preman? Saya ini baru kecelakaan. Pelan-pelan ganti perbannya!"

...

"Stop! Stop! Stop! Tindakan ini bikin saya lebih cepat masuk liang kubur ketimbang keluar dari sini. Ganti saja susternya!"

...

"Nggak usah dipegangin! Saya bisa sendiri!"

...

Hal lain yang memusingkannya adalah soal kerjaan. Entah ada berapa ratus hal yang harus dia selesaikan nanti, tapi bau-bau kekacauan sudah tercium. Dasar bawahan tolol! Pasti mereka beli gelar pendidikan dari oknum. Jadi otaknya tidak bisa diandalkan.

Dan sekarang, Qwin malah menangis mau Papa. Mendesak agar Arletta menelpon pria berengsek itu. Demi Tuhan, setelah ini, hal buruk apa lagi yang akan terjadi?

"Qwin, please. Stop crying or leave me alone!" Arletta menyahut dengan mata memelotot dan rahang bergemeletuk.

Tangis Qwin perlahan mereda. Wajahnya masih cemberut sementara napasnya pendek-pendek. Dia seperti kesulitan menghentikan tangisnya secara total. Bahunya terus naik turun sementara air mata tetap berleleran. Dia mengelap-elap wajahnya dengan punggung tangan. Menahan isakan sambil menunduk dalam.

Arletta mengembus napas. "Come here," katanya dengan emosi dan suara turun. Bohong kalau dia tidak luluh pada air mata Qwin. Sejak tadi ia justru didera perang batin. Melihat Qwin yang menyeka wajah dengan kasar membuatnya makin tidak tega.

Qwin yang sesenggukan naik ke pembaringan. Arletta melebarkan tangan dan anak itu langsung mendaratkan diri di pelukannya. Rasa bersalah makin mencubit hati Arletta. Ia menyesal karena memaksa anak itu berhenti nangis.

"I'm sorry." Arletta mendekap Qwin kemudian mengusap-usap belakang kepalanya. "Mommy minta maaf karena nggak bisa nurutin kemauan Qwin."

Qwin mengangguk dalam pelukan, napasnya mulai tenang.

"Kamu nggak selalu bisa mendapatkan apa yang kamu mau, Sayang. Terkadang kamu harus nerima kenyataan yang nggak sesuai dengan harapan."

Qwin menenggelamkan wajah di dada ibunya. Arletta mencium puncak kepalanya sambil terus mengusap-usap sayang.

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang