"Sisa rasa jagung bakar. Kejunya habis."
Malvi menatap ponsel dengan mata disipitkan. Ia dan Sagan sedang bertukar info lewat video call. Mereka hendak nonton film di rumah Malvi. Sementara Sagan membeli camilan, Malvi sibuk menyiapkan makan siang.
"Mau ganti rasa atau gimana, Na?" tanya Sagan. Wajahnya muncul lagi di layar setelah membuktikan makanan yang diminta Malvi memang tidak tersedia.
"Nggak apa-apa keju. Tapi yang kecil, ya."
"Oke," kata Sagan. "Ada tambahan lagi?"
"Titip amplop kalau ada, Mas."
"Amplop?"
"Buat ke nikahan Trisha. Mas nggak lupa, kan?"
"Hampir lupa kalau nggak diingetin. Oke. Selain itu?"
"Kayaknya nggak ada."
"Yang benul? Mas nggak mau bulak-balik, ya."
Malvi tidak langsung menjawab. Ia meneteskan kuah sup ke telapak tangan lalu mencicipnya. Dirasa komposisinya sempurna, ia menutup kembali pancinya sambil berkata, "Titip pembalut sama obat haid, yang biasa."
"Tumben tanggal segini sudah beli. Dapet lebih cepat, ya?"
"Nggak, persiapan saja."
"Oke," kata Sagan. "Apa lagi?"
"Nggak ada," jawab Malvi sambil mematikan kompor.
"Oke. Mas tutup, ya."
Sambungan terputus setelah Malvi mengiakan. Gadis itu mulai menata persiapan makan siang. Sup ayam, nasi, dan keripik melinjo diatur di meja makan. Tidak lupa air putih, lengkap dengan gelas dan alat makan. Juga pencuci mulut berupa panna cotta stroberi. Setelah segalanya tertata, Malvi menaruh celemek dan kembali ke dapur untuk mengambil ponsel.
Sepuluh menit kemudian Sagan datang. Malvi menyambut dengan senyum merekah, lalu keduanya duduk di meja makan. Sumiran Malvi makin lebar saat menyaksikan Sagan makan dengan lahap. Lelaki itu beberapa kali memuji masakannya, mengacungkan dua jempol layaknya juri masak di televisi.
Tidak pernah Malvi bayangkan jika cowok suram yang dimarahinya hari itu bisa jadi kekasihnya. Sudah badannya kurus kering, auranya hitam pekat. Saat pertama melihatnya, Malvi bertanya-tanya bagaimana bisa ayahnya mempekerjakan makhluk ini. Kalau bukan karena kasihan, mungkin saat itu memang tidak ada yang melamar di bagian pelayan.
"Walaupun nggak pernah senyum sama pelanggan, kerjanya bagus."
"Benar kata Ayah. Disuruh shift kapanpun mau. Sudah gitu tampangnya bisa narik pelanggan. Ganteng katanya. Tanya Trisha dan Luna kalau nggak percaya."
Begitu kata ayah ibunya saat Malvi iseng bertanya.
Waktu itu belum ada yang tahu kalau Malvi anaknya Kemal dan Vika, pemilik The Kevik. Semua pegawai mengira gadis itu cuma pelanggan yang senantiasa datang untuk mengerjakan tugas kuliah, atau nongkrong dengan kawan-kawannya. Tidak ada pelayanan spesial kalau Malvi datang. Dan itu bagus baginya dalam menilai secara objektif kinerja calon anak buah.
Karena seringnya Malvi mampir ke The Kevik, beberapa pegawai mulai akrab dengannya. Sikap mereka amat bersahabat. Kadang Malvi diberi hidangan bonus kalau mengajak Trisha dan Luna. Anehnya, si Cowok Suram tetap tidak berubah. Kepalanya tertunduk terus macam menanggung utang negara, garis bibirnya lurus bagaikan denyut nadi orang mati di mesin elektrokardiograf, dan tatapannya sendu seperti habis dijambret.
"Nggak pernah senyum, jarang ngomong, cool banget pokoknya."
"Satu yang terpenting, kalian wajib lihat ini. Tengok-tengok. Ternyata dia punya band sama temennya. Dan semalam manggung di acara Mas Tio. Mampus, gue nyaris ribut sama pacar gara-gara sibuk videoin dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
Literatura FemininaBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...