"Ay, jangan bercanda! Nggak mungkin banget sampai nggak lolos begini."
Sagan tidak langsung menjawab. Cowok berkemeja putih itu berjalan lunglai ke tengah rumah. Ransel dilepas begitu saja, bundelan kertas dilempar tanpa minat.
"Kamu ikutin semua yang sudah kita siapin selama tiga bulan ini, kan?"
Sagan mengusap wajah dengan kasar. Suara Arletta terdengar seperti nyamuk di malam hari, mengganggu. Saat ini isi kepalanya butuh ketenangan. Bukan serbuan pertanyaan yang membuatnya harus mengungkit kegagalannya siang ini.
"Ay, ngomong, dong."
"Kamu bawel banget, sih!" Sentakan Sagan membuat Arletta tersentak. Alih-alih merasa bersalah, cowok itu bicara lagi dengan tatapan jengkel. "Seminar proposalku gagal. Metodenya terlalu biasa, teori dasarnya kejauhan, dan beberapa pertanyaan tadi nggak bisa kujawab. Sekarang kamu bisa diam?"
Arletta mengigit bibir bawah, mengatur napas sejenak. Tidak pernah ia melihat Sagan sefrustrasi ini. Alisnya memusat ke jidat. Napasnya memburu. Rahangnya yang terkatup menambah kesan garang. Cowok itu mengacak-acak rambutnya yang belum dicukur. Jari-jarinya terlihat gatal ingin melampiaskan emosi.
Hari ini, seharusnya menjadi penentu perjuangan mereka di tiga bulan terakhir. Sagan lolos seminar proposal. Lanjut ambil sisa mata kuliah semester terakhir. Mulai menyusun skripsi. Sidang. Lulus. Wisuda. Seharunya seperti itu.
Sembilan puluh hari ini berjalan dengan tidak mudah. Banyak tenaga, pikiran, waktu, dan uang yang dikorbankan. Perhitungan Arletta waktu itu rupanya tidak sepenuhnya tepat sasaran. Variabel yang dibilang Sagan pun tidak sepenuhnya berguna. Ibaratnya, mereka sudah jungkir balik untuk melalui tiga bulan ini. Namun sayang, hasilnya berkebalikan dengan ekspektasi.
Padahal Sagan sudah belajar serius. Demi tidak mengulang satu matkulpun, dia mengoptimalkan kapasitas otaknya yang pas-pasan. Pagi malam menyusun proposal, mengunjungi perpustakaan setiap hari (untuk meminjam buku-buku yang disarankan Arletta), juga di hari-hari menuju sempro dia absen manggung padahal cuannya lumayan. Entah bagian mana yang salah, perjuangannya justru tidak menghasilkan apapun.
Sekarang harus gimana? Itu yang menghujani kepala Sagan sejak keluar dari ruangan presentasi. Kayas sempat menghibur, tapi sentuhan tangan di bahu itu Sagan singkirkan segera. Seluruh tubuhnya panas didera kecewa. Sialan!
"Masih bisa sempro susulan. Kita kejar segera, ya."
Sagan bungkam. Kontrakan tiga petak itu lengang. Arletta melirik Sagan yang membisu dengan mata lurus ke lantai. Sebelum berangkat, senyum favoritnya masih menjejak. Sekarang luntur entah ke mana.
Arletta melangkah ke dapur, hendak memberi Sagan minum. Tapi isi dispenser membuatnya makin frustrasi. Air tidak sampai menyentuh badan gelas setengahnya. Baru ia sadari beberapa keperluan pokok juga sudah merengek minta diisi. Air, gas, beras, bahkan token listrik. Sial!
Tenang. Tenang. Tenang. Ulangnya dalam hati. Ini hanya hari yang buruk. Besok pasti lebih baik.
Setelah memanipulasi otaknya dengan anggapan tersebut, Arletta kembali ke ruang tengah. Ia mengangsurkan air pada Sagan. Duduk di hadapannya dengan tatapan simpati.
"Tenangin dulu, Ay."
Sagan menenggak air setengah gelas itu dalam dua detik.
"Masih bisa sidang Oktober, kok. Sempronya kita kejar bulan depan, di awal perkuliahan. Aku bantuin revisi, ya."
Sagan masih enggan membuka suara, tapi Arletta yakin perasaan kekasihnya mulai membaik.
"Wajar banget kamu kecewa," sambung Arletta sambil mengusap-usap lutut Sagan. "Tapi jangan lama-lama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
ChickLitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...