Ini masih tanggal 9 Desember, tapi badan Arletta sudah minta istirahat lebih cepat.
Entah masuk angin, atau salah makan, atau terlalu lelah, wanita itu merasa badannya kurang enak seharian ini. Awalnya cuma pusing, lama-lama jadi mual. Ia sempat minum obat, namun redanya cuma sebentar. Daripada makin parah, ia memutuskan pulang dijemput supir padahal kerjaannya masih menumpuk.
Besok anterin Qwin sekolah
Arletta mengirim pesan itu sambil menyelimuti badan. Sial, sekarang agak menggigil juga kakinya. Semoga saja rasa perih di mata bukan indikasi dirinya demam.
Lima menit berlalu. Tidak ada balasan. Arletta langsung menyambungkan panggilan.
"Hallo, Mbak."
Rasanya kening Arletta benar-benar panas sekarang. Darahnya tiba-tiba menggelegak saat mendengar suara Malvi.
"Kasih hapenya ke yang punya, saya mau ngomong," titah Arletta sambil duduk di kasur.
"Mas Sagan lagi nggak bisa angkat telpon. Mau tunggu atau titip pesan?"
Arletta mendecakkan lidah. "Suruh dia telpon balik. Secepatnya saya tunggu."
Si Panah Runcing memutus panggilan. Walau masih menggigil, entah kenapa ada rasa panas yang kian mendidih. Dadanya bertalu keras. Ia ingin membanting sesuatu kalau bisa.
Seseorang mengetuk pintu, juga memanggilnya dengan suara pelan. Itu Qwin. Oh, syukurlah.
"Masuk, Sayang."
Kepala Qwin muncul terlebih dahulu. "Mommy, are you okay?" tanyanya. "Oma bilang Mommy sakit."
"Cuma pusing." Arletta menarik senyum. "Sini, Sayang."
Qwin menghampiri dengan semangat. Rambutnya yang malam itu dikuncir satu tampak bergoyang mengikuti hentakan kaki. Ia langsung melompat ke kasur begitu tiba.
Qwin berjengit saat kulit mereka bersentuhan.
"Badan Mommy panas banget. Fever, ya?"
Arletta menyentuh kening.
"Wait, ya. Aku ambil termometer dulu."
Arletta membiarkan Qwin berlari keluar kamar. Suara semangatnya terdengar meski sudah di lantai bawah. Qwin memang suka memainkan pengukur suhu. Bentuknya yang seperti pistol sering dia anggap sebagai senjata. Kalau di rumah ada yang sakit, anak itu jadi punya alasan untuk memegangnya lama-lama.
Dering ponsel membuat Arletta terkejut sesaat. Ia menyetujui panggilan begitu tahu siapa yang menelpon.
"Hallo, Arba. Ada masalah apa?"
Suara Sagan terdengar kering.
"Coba cek chat yang aku kirim."
Lelaki di seberang telepon bergumam tidak jelas. Ketika waktu merangkak tiga detik, suaranya kembali. "Kayaknya nggak bisa. Ada urusan."
"Urusannya lebih penting ketimbang pendidikan anak?"
"Jangan mulai lagi."
"Terus kenapa nggak bisa? Cuma minta anterin, bukan biayain."
Arletta bisa merasakan bentuk usaha Sagan untuk meredam emosi. Ia akui kata-katanya agak kasar. Tapi peduli setan. Kalau bicara dengan si keparat memang tidak bisa lemah lembut. Emosi terus bawaannya.
"Oke, aku antar. Apa lagi?"
"Jemput dari sekolah, anterin les matematika, tungguin sampai selesai, baru pulang ke rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
ChickLitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...