Mau Dua, Boy and Girl

1.2K 236 99
                                    

Sagan hendak keluar ruangan ketika ponselnya berdering.

"Ya, Arba?" ucapnya setelah menyetujui panggilan.

"Boleh tolong cek di tempat kita rapat tadi, apa ada obatku?"

Sagan menaikkan satu alis kemudian memandang ke meja Malvi.

"Botol obatku nggak ada di tas. Pusing banget dicari ke mana-mana nggak ketemu."

Sagan berjalan ke meja Malvi. Di sana ada botol kecil, tapi ia perlu memastikan benarkah itu milik Arletta. Sementara wanita itu masih mengoceh, Sagan meraih botol itu. Label yang tertera membuatnya bisa menjawab.

"Ada, nih."

"Kayaknya tadi pas nyari hape nggak kemasukin lagi." Sagan mendengar kelegaan di suara Arletta. "Tolong kirim ke rumah, ya. Boleh pakai anusend."

"Aku saja yang antar, sekalian bantu dekor."

"Oke."

"Ada lagi? Biar sekalian."

Sagan meneliti lagi ke arah meja Malvi. Jaga-jaga ada barang lain yang tertinggal. Ketika wanita di sambungan telepon bilang tidak ada, Sagan mengiakan.

Sambungan terputus bersamaan dengan suara pintu terbuka. Sagan menoleh ke belakang dan mendapati Malvi yang menatap heran. Ngapain di mejaku? Mungkin begitu maksud raut Malvi.

"Na, hari ini sampai jam berapa?"

"Nggak tahu," Malvi menjawab sambil berjalan ke mejanya.

"Mas izin pergi bentar, nanti kabari saja kalau mau pulang. Biar Mas anter."

"Nggak usah, aku bareng Mas Marshal."

Sagan hendak menukas tapi Malvi tidak memberi kesempatan. Setelah mengambil tab di dalam laci, gadis itu langsung meninggalkan ruangan. Sagan berusaha mengabaikan panas yang menyebar di hati. Mas Marshal katanya. Mas?!

Tanpa sadar Sagan mencengkeram sesuatu di genggamannya. Kalau tidak menabahkan hati, barangkali obat milik Arletta bisa terburai dari tempatnya. Sabar, Sagan. Sabar. Ia mengulang-ulang dalam hati.

Setelah gelenyar panas itu reda, ia langsung bergegas.

Sagan tiba di rumah Sulthan satu jam kemudian. Para penjaga keamanan yang tempo lalu memitingnya tidak berkata apa-apa, tapi Sagan tahu mereka menghindari tatapannya. Rasa tidak nyaman menyelubungi hati. Apa yang harus dilakukannya kalau bertemu Sulthan?

"Masuk saja. Papi sakit, nggak ada di lantai satu." Arletta seperti tahu isi pikiran Sagan. "Obatnya?"

Sagan mengangsurkan botol obat dari saku, Arletta menerima sambil berterima kasih dan menyuruhnya masuk.

"Minum apa?" tanya Arletta seraya memasukkan botol obat ke saku.

"Nggak usah."

Mereka tiba di ruang tamu yang sedang dihias untuk acara besok. Ada tiga ART dan satu suster yang membantu. Semuanya tersenyum kaku saat melihat Sagan. Mungkin masih ngeri karena kejadian tempo lalu.

"Non lagi ke toilet, Nyonya." Salah satu ART berinisiatif memberi info saat Arletta menoleh ke tempat Qwin yang kosong.

Sagan meneliti sekeliling. Tirai foil bermotif my little pony sudah dipasang, lengkap dengan flag banner bertuliskan nama lengkap Qwin. Balon-balon berhelium sudah ditempel juga. Pernik cantik-cantik yang dibeli bersama Saga  tampak tergeletak dengan stiker dan lem. Wah, bagian ini pasti tidak masuk rencana. Vibes erantakannya beda.

"Papaaa!"

Sagan mendongak ke arah Qwin yang terbirit-birit dengan senyum lebar. Anak itu langsung melompat setelah jarak mereka kurang dari satu meter. Sagan menangkapnya dalam pelukan. Mencium puncak kepala Qwin dengan sayang.

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang