Investor

1.2K 237 114
                                    

"Bye, Papa. Nanti kita play together lagi, ya." Tangan Qwin melambai-lambai, ujung bibirnya tertarik, dan matanya memicing riang.

Sagan memamerkan gigi rapi-putih-sehatnya sembari menaiki motor. "Jangan lupa mandi, gosok gigi, dan berhenti isap jari, ya."

"Okey."

Sagan mendongak ke arah Arletta. "Makasih sudah kasih izin buat main sama Qwin hari ini."

Wanita itu cuma mengangguk satu kali. Garis bibirnya lurus, tatapan matanya sayu, dan tangannya terlipat di dada. Mereka baru tiba di rumah orang tua Arletta lima menit lalu. Tentu ia tidak mau repot-repot mempersilakan mantannya istirahat dulu. Selain tidak ada untungnya, sang ayah bisa ngomel.

"Dadah, Qwin. Papa sayang Qwin. Mmmuah."

"Dadah, Papaaa. I love you too. Mmmuah."

Interaksi mereka terhenti karena Sagan sudah menggulirkan kendaraannya. Sudut bibir lelaki itu terukir sepanjang jalan. Meski ada sedikit masalah dengan ibunya Qwin, baginya hari ini tetap masuk kategori baik.

Sagan terus melajukan roda dua. Kebetulan jalanan sudah lebih lengang ketimbang siang. Namun meski begitu, orang-orang dungu tetap ada. Baru 0.0001 detik lampu lantas berubah hijau, mereka sudah menekan klakson.

Di persimpangan berikutnya, Sagan membelokkan motor ke kiri. Ia berencana menemui Malvi. Komunikasi terakhir mereka adalah tadi, saat Sagan sedang menyetir. Rasanya agak sedikit mengganjal kalau langsung pulang.

Sagan tiba setengah jam kemudian. Rumah kekasihnya sudah sepi. Cuma petugas keamanan yang menyambut, juga ibu pacarnya di beberapa saat kemudian.

Seperti biasa, Sagan akan mencium punggung tangan Vika, kemudian wanita paruh baya itu memeluknya dengan erat. Sikap Vika ini cukup mengobati rindu pada mendiang ibunya.

"Sudah makan belum?" tanya Vika sambil menuntun Sagan ke ruang tamu.

"Masih kenyang, Tante."

"Dibungkus saja kalau gitu. Tadi Tante masak kebanyakan."

Sagan menolak tapi tidak digubris. Vika meminta tolong pada ART untuk mewadahi menu makan malam. Juga menyiapkan air minum dan kudapan ringan untuk dihidangkan.

"Malvi sudah tidur dari tadi. Tapi nggak apa-apa, ya. Tante senang kalau kamu mampir."

Sagan sebenarnya agak kecewa. Tapi demi menjaga perasaan, ia tetap mempertahankan sunggingan bibir. Ia lanjut berterima kasih pada ART yang muncul dengan air dan beberapa kue.

"Kayaknya emang capek banget. Habis dari nikahan Trisha, main dulu katanya sama temen. Eh, pulang-pulang langsung tumbang."

Gerakan Sagan yang hendak meraih cangkir terhenti. Nikahan Trisha. Nikahan-Trisha. Ia mematung, mengingat-ingat perkara ini. Seingatnya acara tersebut masih minggu dep—— tidak, hari ini! Hari ini, Bodoh! Sagan menelan ludah dengan susah payah. Tiba-tiba saja ia merasa jantungnya berdebar lebih cepat.

"Kenapa, Gan?" tegur Vika.

"Tante, saya baru ingat soal nikahan Trisha," ucap Sagan penuh sesal. Niatnya untuk melepas dahaga benar-benar hilang. Rasa bersalah membumbung makin tinggi. Ia mendongak ke lantai dua. Napasnya agak memburu saat membayangkan sekesal apa Malvi ketika tidur.

"Malvi bilang ke kamu sebelumnya?"

Sagan mengangguk kaku. Senyumnya raib tanpa sisa. Dengan sendirinya, bahunya ikut merosot. Ia benar-benar dalam masalah sekarang.

"Kok, bisa lupa?" Pertanyaan itu, walau nadanya biasa saja, Sagan merasa dikuliti hidup-hidup.

"Iya maaf, Tante. Saya salah."

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang