Akuarium (2)

1.1K 223 91
                                    

Bunyi krak-krek terdengar renyah saat Arletta merentangkan tangan ke depan. Hal serupa terjadi saat ia merenggangkan bagian leher, juga kesepuluh jari. Demi Tuhan, tulang-tulangnya terasa kaku, terutama di bagian bahu. Tidak mau lagi dia work form car kalau begini caranya.

Arletta memeriksa ponsel. Penambahan jam di layar membuatnya terkejut. Buru-buru ia keluar mobil setelah memastikan kendaraan itu terkunci.

Ia memasuki area akuarium sambil memijat bahunya yang sakit. Banyak sekali manusia di sini. Mulai dari rombongan anak sekolah, hingga pasangan sejoli. Tidak ada yang berjalan sendiri seperti dirinya. Apalagi celangak-celinguk macam anak hilang.

Ketika pencariannya tidak menemukan hasil, Arletta menyambungkan panggilan ke ponsel Sagan. Hasilnya seperti yang ia duga. Tidak ada jawaban.

Sepuluh menit berlalu. Masih belum ditemukannya Qwin maupun Sagan. Cuma seliweran orang, juga rombongan ikan-ikan di balik kaca. Ia juga sempat salah terka sampai dua kali, mengira anak kecil beransel my little pony adalah putrinya. Makin jengkel, Arletta lantas melayangkan pesan pada Sagan. Yang sialnya lagi, untaian kata itu cuma sampai ceklis satu.

Setengah jam berlalu lagi. Kali ini Arletta merasa tidak sanggup. Bahunya benar-benar minta ampun. Sejak kecelakaan, bagian itu memang mudah sekali linu. Ia duduk pada salah satu bangku sambil memijat bahu. Kepalanya masih berusaha mencari.

Dua sosok itu muncul dengan sendirinya. Arletta mengerjap beberapa kali untuk memastikan. Qwin dan Sagan tampak membelakangi dari jarak sekian meter. Pantas saja! Gerutunya dalam hati. Dari tadi dia fokus pada anak-anak beransel. Ternyata punggung Qwin justru kosong, malah Sagan yang memakai tas my little pony.

Dan, apa itu di kepalanya? Tanya Arletta dalam hati. Sagan tampak menggelikan dengan bando ekor duyung yang menyala kelap-kelip. Beberapa anak di sekitarnya tampak terkekeh. Satu-dua merengek pada ibunya mau bando gemoy itu.

Arletta beringsut untuk mendatangi Qwin dan Sagan. Tapi baru melangkah sebanyak lima, niatnya terurung. Ia memelankan pergerakan, memerhatikan mereka dari jarak sekian meter.

Qwin terlihat riang dengan bando di kepala, serupa dengan milik Sagan namun ukurannya lebih kecil. Anak itu menggenggam tangan ayahnya seakan-akan kulit mereka terkena lem permanen. Ke manapun Qwin menunjuk, Sagan mendampingi.

"Foto di situ, yuk, Qwin. Bagus banget view-nya."

Qwin berlari-lari kecil ke arah yang ditunjuk ayahnya.

"Senyum yang lebar, Anak Cantik."

Bocah itu mengangkat dua jari di pipi, juga menarik kedua sudut bibir. Posenya memang tidak seperti model cilik, tapi siapapun tahu sumirannya tulus dari hati. Sagan juga tidak mau kalah. Bak fotografer profesional, dia mengambil citra anaknya dari berbagai sudut. Dia bahkan sempat jongkok dan nyaris terjungkal saking maunya foto itu sempurna.

"Wah, ini kalau dicetak harus ditempel paling depan, Sayang," ucap Sagan sambil memeriksa ponsel.

Qwin mendekat, ikut mengintip hasil foto ayahnya.

"Papa mau take a picture juga nggak?"

"Qwin saja, deh," Sagan menjawab seraya merapikan poni anaknya. "Yuk, lanjut."

"Boleh istirahat dulu nggak?" tanya Qwin. "Aku mau itu."

Arletta ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Qwin. Awalnya ia jengkel lantaran Sagan tidak memberi penolakan padahal hal ini sudah diinfokan berkali-kali. Qwin nggak boleh jajan sembarangan, apalagi es krim. Paling tidak diberitahu dulu kalau beli es krim harus minta izin Mommy. Huh!

Tapi kejengkelannya berangsur berkurang. Selain geli melihat bando duyung kelap-kelip di kepala Sagan,  yang disaksikannya agak menghantui isi kepala. Beberapa pertanyaan berseliweran. Benarkah ini dia, yang tidak datang saat anaknya akan lahir? Yang menolak membesarkan? Yang meninggalkan si bayi merah begitu saja?

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang