"Ay, Kayas sudah bilang nggak bisa. Nggak usah dipaksa."
Sagan menggeleng atas bisikan itu. Terhadap cowok gondrong di hadapannya, ia memohon sekali lagi, "Kay, seminggu paling lama."
"Gan, gue bukannya nggak mau bantu. Tapi pemilik kos gue strict banget. Kalau ketahuan bawa cewek, bisa diusir."
"Cuma lo yang bisa bantu gue, Kay."
"Sorry, nggak bisa."
"Kay, please. Gue nggak tahu lagi harus ke mana."
Sagan tampak putus asa. Pancaran matanya perpaduan antara frustrasi dan pupus harapan. Bibirnya yang biasa memabukkan saat terseyum tampak bengkak dan luka.
Sebelum menemui kediaman orang tua Arletta, Kayas sudah diberitahu mengenai masalah ini. Cowok gondrong itu cuma bisa geleng-geleng kepala. Baru Kayas sadari, awan hitam terus muncul di atas kepala sahabatnya sejak saat itu. Makin lama awan kelabu itu makin besar, bahkan membumbung dan memunculkan petir-petir tak kasat mata.
"Kayas."
Kayas memalingkan muka supaya teguh di pendirian. Tapi naas, nuraninya berontak. Sagan yang memelas, juga Arletta yang cuma menunduk, membuat tembok yang dibangunnya kian runtuh.
Kayas sebenarnya tidak mau terlibat atas masalah Sagan dan kekasihnya. Perbuatan mereka telah melampaui batas maka keduanya harus menanggung bersama. Tapi sial sekali,
Kayas merasa berengsek kalau membiarkan sahabatnya merangkak sendirian.Sial! Seharusnya ibu panti tidak menamainya Kayas--merah muda. Hatinya jadi tidak tegaan begini. Ia memandang Sagan dengan merana. Muka sahabatnya itu masih bonyok, banyak luka basah di mana-mana. Jidatnya benjol sebesar kelereng dengan sobek dua senti. Bola matanya menyisakan bercak kemerahan. Sudut bibirnya robek. Lehernya menampakkan cakar memanjang.
"Masuk dan jangan bersuara."
"Makasih banyak, Kay. Lo emang sahabat gue yang paling baik."
Sagan hendak memeluk Kayas tapi cowok gondrong itu menepis dan menyuruhnya bergegas sebelum disadari penghuni lain.
"Nggak apa-apa, ya, Ay," bisik Sagan sambil memasukkan barang bawaan. "Ini cuma sementara."
Arletta menatap nanar kamar satu petak di hadapannya. Berukuran dua kali dua, tanpa AC, super berantakan, dan hanya ada satu kasur di sana. Koper dan ransel bawaannya tidak punya tempat. Perutnya juga langsung mual. Entah karena gejala hamil muda atau bau tembakau bercampur sisa makanan yang memang tidak tertahankan.
"Bisa kalian lihat keadannnya. Tempat ini nggak layak tinggal, apa lagi sampai bertiga," kata Kayas, paham betul maksud ekspresi Arletta.
Sagan tidak menjawab. Ia hapal tabiat sahabatnya. Sebelum kamarnya dikira tong sampah, dia tidak akan pernah membereskannya. Kayas terlalu sibuk. Tenaganya terkuras untuk kegiatan di luar. Kuliah, nge-band, dan jadi asisten sutradara teater. Hal itu membuatnya pulang ke indekos dengan sisa-sisa keletihan.
"Kay, ada duit buat makan?" tanya Sagan.
"Kenapa?"
"Tolong ajak Arba makan, ya. Biar gue beresin kamar lo."
Kayas memutar bola mata tapi tetap menuruti ucapan Sagan. Ia membawa Arletta keluar kamar dengan mengendap-endap. Ibu kos berusaha dikelabuinya dengan pura-pura bertanya ketersediaan kamar kosong, sementara Arletta bergegas tanpa ketahuan.
"Lo nekat juga, ya, Ta," kata Kayas setelah keduanya keluar dengan aman.
Ia hendak mengajak Arletta makan di warteg belakang kampus. Kalau Sagan tahu, dia pasti ngoceh-ngoceh. Menurutnya warteg itu pakai jin penglaris. Rasanya selalu berbeda jika makan di sana dengan makan dibungkus. Tapi tidak ada pilihan lain. Yang paling murah memang di situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
ChickLitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...