Prolog

6.2K 559 149
                                    

Sagan sedang tidak bisa diajak bicara. Di balik wajah tenangnya, ada kegusaran yang berputar di benak. Terhitung dua kali lelaki itu menerobos lampu merah. Dengan yang barusan, menjadi tiga. Tangannya dengan cekatan memutar setir, sementara pijakan kakinya makin dalam.

Malvi, gadis yang duduk di sampingnya, mencengkeram handler ketika roda empat yang ditumpanginya meluncur makin dahsyat. Jalanan memang tidak seramai siang hari. Namun, sisa hujan satu jam lalu masih membekas. Rintik terlihat terjun ria di balik kaca. Genangan air tercecer. Udara lembap dan basah. Kalau terus-terusan begini, mereka tidak akan sampai di rumah sakit sebagai pembesuk, melainkan pasien baru.

"Mas," Malvi akhirnya bersuara. Perlindungan diri yang terbangun itu nyatanya mampu mengubah keadaan. Jarum spidometer melenggang ke kiri secara berangsur-angsur.

Sagan terlihat menelan ludah. Jakunnya bergerak sesaat. Ragu-ragu Malvi menyentuh punggung tangan lelaki itu. Ia meringis lantaran kulit kekasihnya begitu beku. Seperti freezer yang menciptakan bunga es berbulan-bulan.

"Mas harus tenang," kata Malvi lagi. Awalnya khawatir Sagan akan mengempas tangannya. Tapi ketika dirasanya tidak ada penolakan, ia lantas menempelkan jemari lebih lama. "Semua akan baik-baik saja."

Sagan mendengus. Meski pelan, hal itu cukup mencubit hati Malvi. Gadis itu menyesal telah bersuara. Ia tahu kekasihnya sedang tidak bisa diajak bicara, tapi dengan bodohnya malah mengatakan sesuatu yang tidak berguna. Apa katanya tadi? Semua akan baik-baik saja. Cih, sungguh kalimat formalitas yang amat memuakkan.

Malvi akhirnya memilih diam. Pelan-pelan tangannya mulai dijauhkan dari milik Sagan. Hati yang tercubit tadi membuat pasokan udara mulai terbatas. Malvi merasa sesak ketika satu pertanyaan muncul di benak secara spontan.

Kalau aku yang kenapa-napa, mungkinkah Mas Sagan akan sepanik ini?

Mungkin tidak. Jawab hatinya getir. Mas Sagan mungkin saja panik, tapi tidak sampai kehilangan kesadaran. Logikanya akan selalu bekerja. Berbeda jika 'dia' yang jadi subjeknya. Jangankan kecelakaan, sakit sedikit saja Sagan akan langsung seperti orang linglung, resah berlebihan.

Malvi menggeleng sambil menyeka sudut mata. Ia merasa bersalah karena bisa-bisanya berpikir seperti tadi. Dua nyawa sedang terancam tapi dirinya malah berpikir sepicik itu. Sungguh tidak punya empati!

Ia mengatur napas sambil terus menetralkan kecamuk di hatinya. Sesekali ia melirik lelaki di balik kemudi. Masih sama. Sagan tetap menatap lurus ke depan sementara tangan dan kakinya lincah melesatkan mobil.

Karena kecepatan yang luar biasa itulah roda empat yang mereka tumpangi akhirnya sampai di pelataran rumah sakit. Sagan langsung keluar dari mobil. Tanpa menoleh, apalagi menunggu Malvi. Setelah menyerahkan kunci mobil pada petugas, kaki panjangnya merangsek cepat ke unit gawat darurat.

Malvi baru keluar mobil ketika ditatapnya punggung Sagan terlihat makin jauh. Caranya bergegas, bertanya pada pihak rumah sakit, bahkan terus menambah laju di kaki, semua itu membuat Malvi sadar. Mereka terpisah terlalu jauh.

Perasaan itu membuat gerak kaki Malvi melambat, matanya blur dilapisi air, dan pasokan udara lagi-lagi menipis. Berbaliklah, bisik Malvi sambil memandangi Sagan yang terus bergegas. Tolong berbaliklah, aku masih di sini.

Tidak bisa ditahan lagi sebutir air di matanya jatuh. Malvi menunduk. Bahunya perlahan naik turun. Bulir dari matanya berjatuhan seiring jelasnya keresahan yang memberondong sejak tadi.

Sungguh lucu. Baru beberapa jam lalu ia merasa menjadi pemenang. Segalanya seperti di genggaman. Sagan yang tersenyum, memamerkan gigi rapi-putih-sehat, kemudian
mendeklarasikan keseriusan hubungan mereka. Tangannya meremas jemari. Iris hitamnya menyorot lekat-lekat. Sempurna!

Tapi, lihat sekarang, siapa yang malah menangis merana?

"Na."

Malvi mendongak. Matanya masih menyisakan jejak air. Pipinya tampak becek semetara wajahnya merah. Napas Malvi yang sesenggukan membuat sisi merah jambunya semakin kentara.

"Mas Sagan."

Malvi tidak percaya lelaki itu tegak di hadapannya. Napasnya masih terengah namun mata hitamnya terus terarah padanya. Kenapa dia kembali? Bukannya tadi sudah bergegas, bahkan lupa dengan siapa dia ke mari?

"Kenapa nangis?" Sagan bertanya tanpa mengedip. Lelaki itu menyentuh keningnya. "Kamu sakit, ya? Pusing?"

Malvi menggeleng. Buru-buru ia menyeka sudut mata dan wajahnya yang lembap.

"Harusnya Mas saja yang pergi. Maaf, ya, Na. Masih kuat jalan nggak?"

Malvi mengatur napas. Ia semakin bisa mengendalikan diri. "Mbak Arletta dan Qwin gimana, Mas?"

Sagan menggeleng, kemudian bilang bahwa dia belum sempat memastikan. Tadi, karena Malvi tidak kunjung muncul ——padahal yakin ada di belakangnya—— Sagan terpaksa menarik langkah. Lelaki itu heran saat Malvi malah diam sambil menunduk di tengah lorong.

"Kalau sudah tahu keadaan mereka, Mas langsung anter kamu pulang." Sagan berkata sambil mensejajari langkah.

"Nggak usah. Kan, aku juga yang minta ikut."

"Nanti kalau kurang tidur kepalanya bakal pusing."

Malvi memandang tangannya yang kini digenggam sang kekasih. Rasa malu menyeruak, penyesalan menertawakan. Namun meski demikian, egonya masih tidak mau kalah. Menyadarkan Malvi bahwa Sagan mungkin sedang berpura-pura.

Jangan lengah, jangan terlena. Para ego itu mengingatkan Malvi. Jangan lupa juga, tidak terhitung Sagan menomorduakan dirinya. Meninggalkan tanpa ba-bi-bu di saat-saat penting.

-bersambung

18 Agustus 2023

Kemarin akun ini ultah yang kedelapan, Bor. Mintol doain yang baik-baik, ya. Hehe

Btw, apa kabar?

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang