"Kebalik, Mas. Bukan mereka yang follow, tapi kita."
Sagan menaikkan satu alis atas pernyataan Malvi. Gadis berpiama Sinchan itu mengisyaratkan kekasihnya untuk mendekat supaya bisa melihat layar pipih di tangannya. Begitu jarak mereka makin sempit, Sagan sedikit salah fokus. Aroma sabun di kulit Malvi rupanya lebih dahsyat dari perkiraan. Wanginya terasa kuat dibanding kamar ini, padahal sudah satu jam dia datang.
"Orang-orang biasanya suka update status, kan. Kalau kita follow mereka, kita bakal tahu apa yang terjadi di kehidupan mereka."
"Oke, terus?"
"Misal pelanggan kita itu lagi ulang tahun, atau bahkan mungkin berduka karena ditinggal orang terkasih. Kita bisa kirim mereka bunga, ngasih ucapan. Kasih tanda juga bahwa itu dari The Kevik."
Setelah dijabarkan begitu barulah Sagan mengangguk paham.
"Nggak usah semua pelanggan, sampel saja. Intinya adalah, orang kalau hatinya sudah kita dapetin, dia akan loyal. Sekalipun kompetitor harganya lebih murah, tapi kalau kata si pelanggan hatinya sudah ke The Kevik, dia nggak akan ke mana-mana."
Anggukan Sagan makin cepat. "Memang hebat pacar Mas ini. Gimana ceritanya kamu bisa mikir sampai ke sana, Na?"
"Selama di rumah, aku cari beberapa seminar online. Terus dapat, deh, soal cara narik kembali pelanggan."
"Hm, gitu? Bukannya istirahat malah mikirin The Kevik. Pantesan kakinya nggak sembuh-sembuh."
"Sembuh, kok. Cuma memang agak lama." Malvi nyengir ketika Sagan cemberut. "Lagian kalian semua pada kerja keras. Masak aku cuma tiduran."
"Padahal video buatan Kayas-Chelsea cukup ngaruh Sekarang kamu malah ngasih ide sebagus itu. Wah, kasihan kompetitor kita."
Senyum Sagan terurai, Malvi ikut-ikutan menarik sudut bibir.
"Anaknya siapa, sih, kamu? Kok, pintar banget?"
"Anaknya Bapak Kemal dan Ibu Vika."
Sagan terkekeh kemudian mengacak pelan rambut depan Malvi. Gadis itu menyahut protes ketika jumputan hitamnya jadi berantakan. Balas dendam, ia mencubit kedua pipi Sagan. Melebarkan tarikan sampai kekasihnya nyengir maksimal dengan gigi rapi-putih-sehatnya. Tidak ada yang memisahkan acak rambut dan cubit-cubitan itu. Cuma mereka yang ada di kamar. Ayah ibunya Malvi di bawah. Asisten rumah tangga juga sibuk di sana.
"Cukup-cukup, Mas nyerah." Sagan mengangkat kedua tangan. Pipinya merah karena dicubit kuat-kuat. "Eh, ada yang harus pulang, nih."
"Makan dulu, ya."
"Mas Makan di kos saja, Na."
Sagan beringsut dari kasur, gadis berpiama Sinchan ikut beringsut. Kaki Malvi sudah jauh membaik. Ia bisa bergerak lebih leluasa. Rencananya besok bisa kembali ke kafe.
Sebelum Sagan sampai ke pintu, orang tua Malvi baru muncul dari tangga. Keduanya menghampiri mereka.
"Gan, makan dulu, ya. Itu makanan yang Tante bikin kebanyakan."
"Iya, Gan. Sayang kalau nggak dihabisin malam ini."
Sagan melirik Malvi, gadis itu hanya mengangkat bahu. Kan?
Sagan akhirnya menuruti ucapan sepasang manusia di hadapannya. Walau niat awalnya hanya menjenguk sang kekasih, tapi kalau sudah diajak begini apa boleh buat. Jujur saja Sagan masih malu untuk menghadapi orang tua Malvi. Penundaan niat seriusnya dengan anak gadis mereka belum ada progres. Tapi dua manusia itu tetap bersikap baik. Tidak berubah sedikitpun.
"Mau pakai apa, Gan?" tanya Vika, wanita paruh baya yang duduk di seberang Sagan. Sang suami, Kemal alias ayahnya Malvi, duduk di sebelah wanita itu.
"Biar saya ambil sendiri, Tan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
Literatura FemininaBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...