Ada yang Hilang

1.2K 228 136
                                    

"Aku harap kamu bisa lebih bahagia. Dengan atau tanpa adanya pendamping hidup."

Arletta jarang terpengaruh oleh kata-kata, tapi entah kenapa yang satu ini membuat hatinya pedih. Matanya yang belum terpejam terasa perih saat butiran pilu menjebol paksa. Bantal yang mengangga pipinya langsung rembes oleh air mata. Hatinya terasa dicengkeram kuat-kuat, sesak tanpa ampun.

Sagan sialan, makinya sambil membiarkan air mata terjun lebih banyak. Lidahnya mengecap rasa asin kala butiran itu ikut merambat ke bibirnya.

Hatinya terasa sakit mendengar penegasan Sagan bahwa mereka tidak bisa bersama lagi. Padahal Arletta sudah mengawalinya dengan kata "semisal". Maksudnya tidak memaksa, hanya jika memungkinkan. Tapi permisalan sekalipun nyatanya langsung ditolak.

Arletta bingung, harga diri yang terlukai atau penolakan itukah yang membuatnya sakit hati. Sejak berjam-jam lalu dirinya berusaha menahan diri untuk tidak minum anti depresannya. Obat itu hanya dikonsumsi satu butir per hari. Tadi siang ia sudah meminumnya.

Nahas, ia tidak bisa menahannya lagi. Sedih mendalam, merasa tidak berguna, hilangnya harapan hidup membuatnya terpaksa menenggak sebutir lagi. Biarlah dia lebih tenang. Nanti akan dikatakan alasannya pada psikaternya.

Arletta masih tidak bisa terpejam. Pikirannya diisi tentang si keparat itu. Sekarang Arletta paham kalau Sagan cuma si bodoh yang mau melakukan sesuatu. Dari dulu selalu begitu. Kapasitas otaknya memang terbatas, tapi dia tidak pernah tinggal diam, membiarkan kesayangannya menderita.

Setelah tahu alasan Sagan meninggalkannya, Arletta dihinggapi rasa bersalah. Tidak sekalipun terlintas di pikirannya kalau pria itu hanya melakukan sandiwara. Gelagat menyebalkannya sejak keluar penjara memang amat mulus, Arletta salah sangka. Sekarang baru ketahuan bahwa kejanggalan yang menghantuinya mulai terjawab.

Selama ini Arletta menganggapnya antagonis. Sikap kebapakannya pada Qwin bentuk rasa bersalah semata. Padahal lebih dari itu. Ada kasih sayang, ketulusan, dan pengorbanan. Harusnya Arletta sadar, bahwa antagonis tidak mungkin bersikap seperti itu.

"Aku harap kamu bisa lebih bahagia. Dengan atau tanpa adanya pendamping hidup."

Sial. Sial. Sial.

Arletta tergugu lagi sambil terus meringkuk di kasur. Kenapa Sagan harus bilang soal pendamping sementara dialah satu-satunya yang masuk ke hati?

Well, baiklah, sepertinya ada yang harus mengaku.

Kebencian Arletta pada Sagan bagai kabut yang tersibak. Setelah hubungan mereka membaik, Arletta memang agak berharap. Apalagi pacarnya Sagan memutuskan hubungan sepihak. Sungguh, kebetulan yang mantap.

Tapi wanita memang makhluk paling memusingkan. Dulu Arletta mengatur rencana agar Sagan putus dengan Malvi. Segala upaya dilakukan. Menjadi investor dadakan misalnya. Saat itu ia tujuannya adalah membatasi waktu antara Sagan dan Malvi. Komunikasi di dalam pasangan amatlah penting. Kalau tidak dipenuhi, tinggal tunggu waktu untuk putus.

Jangan lupakan tamasya akuarium. Arletta tahu betul hari itu Sagan harus menghadiri pernikahan temannya Malvi. Ia sempat membaca undangan yang teronggok di meja bersamaan dengan tawaran sebagai investor. Pucuk di cinta, Sagan juga tidak ingat, ia terlalu senang diperbolehkan menemani Qwin. Ajaibnya lagi, secara tidak terduga ponsel Sagan tidak bisa dihubungi seharian itu.

Arletta memang perencana yang baik. Segala hal akan dipikirkan lalu dirangkai sesempurna mungkin. Ditambah adanya dendam membara, tidak heran jika upaya agar Sagan dan Malvi putus dilakukannya dengan cara kotor. Salah satunya, memanfaatkan keluguan Marshal.

Ia tahu Marshal tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan. Dulu bahkan sempat bilang dirinya tidak berniat menikah. Sepupunya itu menyaksikan orang tuanya yang tidak harmonis. Mereka menikah lantaran Marshal keburu hadir. MBA alias married by accident.

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang