"Ay, dengerin baik-baik.
"Target semester ini lolos sempro. Selanjutnya, kamu harus ikut sidang bulan Oktober, biar bisa wisuda Desember. Itu waktunya ngepas sama estimasi lahiran. Jadi aku bisa mulai di Januari sambil kamu cari lowongan."
Kalau sedang diskusi begini, Sagan hanya bisa menyimak. Tangannya menopang dagu. Matanya lurus sambil sesekali mengedip. Didengarnya penjelasan Arletta tanpa protes.
Hasil manggung Sagan dan tabungan Arletta sudah cukup untuk keluar dari indekos Kayas. Mereka mengontrak di rumah tiga petak. Lokasinya terpencil dan jauh dari kampus. Dengan harga miring dan sang pemilik tidak mempermasalahkan status mereka, Sagan mantap membawa Arletta. Butuh tiga hari penuh untuknya membersihkan, menggosok, dan menyulap rumah ini supaya lebih layak huni. Walaupun masih sangat jauh dibanding rumah Arletta yang bak istana, setidaknya jangan kotor. Begitulah pikir Sagan.
"Ini aku hitung dengan anggapan kamu nggak ngulang matkul apapun di semester ini," sambung Arletta. "Jadi please banget prioritaskan kuliahmu."
"Dari timeline ini, aku bisa manggung berapa kali dalam seminggu?"
"Nggak sama sekali."
"Eh, nggak bisa, dong, Ay. Dari mana dapat uang kalau aku nggak manggung?"
"Aku sempat submit lamaran di web freelancer online. Penerjemah, editor, olah data, social media specialist, banyak, lah. Lumayan ada beberapa yang nyangkut."
"Terus aku sendiri nggak ngapa-ngapain?"
"Kamu fokus kuliah saja."
Sagan tidak setuju. Ketika hendak mengutarakan protes, Arletta langsung menambahkan.
"Selesaikan satu-satu, Ay. Kita gantian. Sekarang kamu beresin kuliahmu, barulah habis itu aku."
Walau nada suaranya meyakinkan, Sagan sama sekali tidak terhibur. Ini tidak seperti yang dibayangkannya. Setelah terusir dan hidup hanya berdua, ia kira fokus utama mereka hanya masa depan si jabang bayi. Mereka akan berhenti kuliah dan mulai mencari uang. Tapi ternyata Arletta justru punya pemikiran lain.
Arletta selalu menekankan pendidikan adalah yang paling penting. Hasil utamanya bukan materi. Tapi pola pikir dan relasi. Banyak orang yang bilang sukses tidak mesti harus sekolah. Berdalih dengan bilang, Lihatlah pemilik fakebook, opple, dan perusahaan terkemuka lainnya. Kebanyakan drop out tapi tetap sukses. Hey, mereka lupa ada yang namanya privilage. Mereka juga alpa berapa banding berapa orang yang berhasil tanpa sekolah.
"Ini estimasi pengeluaran keuangan kita dalam sebulan, Ay."
Arletta melanjutkan diskusi. Ia menunjukkan catatanya yang super detail. Berbagai angka dan keterangan muncul di sana. Tulisannya rapi dan bisa dibaca.
"Ke depannya pasti akan terus naik, makanya nanti aku coba cari income lain. Mungkin jadi dropshipper."
Sagan membaca salah satu catatan. "Ini kamu yakin biaya makan segini?"
"Mau nggak mau," kata Arletta sambil mengendikkan bahu. "Kalau beli, mahal banget. Makanya mending masak."
"Aku nggak bisa masak. Dan masakan kamu——"
"Kenapa dengan masakan aku?"
Sagan bingung mencari pembendaharaan kata untuk "tidak enak". Ia berpikir keras nan cepat. Tatapan Arletta lurus, nyaris mengintimidasi.
"Emangnya nggak repot?" kata Sagan pada akhirnya. "Nanti perutmu makin besar juga, kan."
"Kita nggak punya pilihan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaus Kaki yang Hilang
Chick-LitBagi Malvi, menjalani hubungan dengan Sagan bukanlah sesuatu yang mudah. Lelaki itu bukan cuma sudah punya anak, Malvi pun merasa kekasihnya itu belum menyelesaikan masa lalunya. Setiap hari dirinya mengumpulkan alasan untuk mempertahankan hubungan...