Nomor Dua

1.7K 290 51
                                    

"Jadi, kapan Mommy wake up? Aku mau hug Mommy."

Sagan tidak tahu jawabannya tapi dia tetap berkata, "Mungkin sebentar lagi. Qwin sama Papa dulu, ya."

Anak kecil berambut sebahu itu cemberut. Wajah kirinya masih menyisakan luka, terutama di bawah mata. Bercak merah berbaur dengan lebam keunguan. Sagan meringis saat melihat luka itu pertama kali. Walau kata dokter lukanya sudah lebih kempes, ia tetap tidak tega. Queenzy, putri yang disayanginya, tidak boleh terluka sedikitpun.

Saat ini 62 jam setelah kecelakaan terjadi. Sagan senang bukan kepalang ketika Sulthan menitahnya datang ke rumah sakit. Rupanya Qwinlah penyebabnya. Anak itu merengek ingin ketemu Papa. Ketika keinginannya tidak kunjung dipenuhi, dia tidak mau makan, tidur, minum obat, bahkan mandi.

"Apa Mommy okay?" Qwin bertanya dengan nada senewen. Matanya memencarkan kesedihan mendalam, yang membuat Sagan berani mempertaruhkan segalanya untuk menghilangkan gelora kesenduan itu.

"Mommy oke, Bayik. Kit——"

"Don't call me Bayik. I'm Qwin, Papa harus katakan correctly. I'm Qwin, Queenzy Sitra Kanara. Not Bayik."

Biasanya Sagan kesal kalau anaknya bilang begitu. Tapi untuk sekarang, ia justru terhibur. Saat mendengar berita kecelakaan dari Marshal, Sagan benar-benar hilang kendali. Takut dan linglung berpadu. Pikirannya berkecamuk, kewarasannya tersetir, ia seperti berada dunia di antah berantah. Bagaimana kalau ia tidak bisa mendengar protesan si Bayik lagi? Bagaimana kalau anaknya itu terluka parah, bagaimana kalau ... Uh, semua itu memenuhi kepala Sagan.

Ia benar-benar takut kehilangan putri tercintanya. Ia merasa tidak bisa memaafkan dirinya sendiri jika hari itu merupakan perjumpaan terakhir mereka. Banyak yang Sagan lewatkan di masa pertumbuhan anaknya. Ia masih harus menebus dosa.

"Oke, Papa revisi," kata Sagan sambil tersenyum. Bibir merah tipisnya tertarik ke sudut. "Mommy oke. Cuma butuh waktu untuk bangun."

"Mommy masih ngantuk?"

"Kurang lebih begitu, Bayik, eh, Qwin."

Walau mereka sudah bertemu sejak tiga tahun lalu, Sagan masih belum terbiasa ——bahkan menerima——jika nama anaknya adalah Qwin. Queenzy Sitra Kanara. Dibilang benci nama itu sepertinya terlalu kasar, tapi dikatakan suka juga tidak. Qwin? Nama apa itu? Kenapa Arletta menamainya Queenzy? Terdengar terlalu tinggi, sulit digapai, tersohor yang berlebihan. Tapi sekali lagi, Sagan tidak punya hak untuk protes.

Sejak ia menjadikan Arletta single mother, saat itu juga Sagan harus tahu diri. Boleh bertemu saja sudah untung. Walau dengan intruksi ketat, waktu yang terbatas, ocehan, bahkan tatapan benci, Sagan cukup bisa menerima. Baginya, ia memang pantas mendapatkan itu.

"Qwin, it's time to lunch. Say goodbye to him."

Ucapan itu membuat Qwin dan Sagan menoleh ke daun pintu. Nadin, neneknya Qwin muncul bersama tiga wanita. Satu berseragam perawat, sementara dua lainnya memakai pakaian pengasuh. Troli berisi makanan, obat, dan boneka my little pony ikut menyemarakkan kehadiran mereka.

"No, Oma. I wanna Papa stay sampai Mommy wake up."

"This hospital has limited access for stranger."

"Papa is not stranger!"

"Only family can be here."

"Pokoknya Papa must stay sampai Mommy wake up!"

Qwin cemberut, tangannya terlipat di dada. Nadin mengembus napas berat, melirik Sagan dengan jengkel. Sementara satu-satunya pria di kamar itu, juga satu perawat dan dua pengasuh, cuma diam menyaksikan casciscus barusan.

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang