Titik Balik

1.2K 209 58
                                    

"Ay, kemarin Papi sama Mami datang."

Arletta tidak bisa menangkap arti tatapan Sagan. Cowok yang lukanya mulai mengering itu cuma memandang lurus tanpa ekspresi. Padahal sejak keluar kontrakan tiga petak itu Arletta sudah resah setengah mati. Bingung cara menyampaikan berita ini pada kekasihnya.

Kurang dari 24 jam sejak perpisahannya dengan Marshal, orang tua Arletta memang muncul tanpa diduga. Kehadiran mereka sempat mengundang atensi tetangga. Pasalnya, mobil yang terparkir di luar gang begitu berkilau. Mata-mata kepo itu berdecak bingung : apa pemilu sudah mau dimulai, sampai-sampai ada mobil bagus mampir di kawasan mereka? Eh, tapi kok tidak ada kamera atau gendong-gendong lansia miskin?

Mereka makin heran ketika pemilik mobil turun, lalu masuk gang. Meski terlihat ngeri saat menyusuri jalan sempit nan kumuh, sepasang manusia paruh baya itu tetap meneruskan langkah. Mereka melewati anak-anak yang sedang main kelereng, genangan air, bahkan para mulut jahanam. Yang membuat terkejut tentu saja saat mereka berhenti di bangunan paling ujung. Si wanita mengetuk pintu, memanggil nama. Sementara yang pria cuma berdiri sambil mengusap-usap cincin giok seukuran petai.

Saat orangtuanya datang, Arletta sedang memeriksa wajahnya yang kena cakaran kemarin. Ia setengah tidak percaya Nadin dan Sulthan tegak di depan kontrakan. Ibunya itu bahkan langsung meraup putri kesayangannya dalam pelukan. Wanita itu menangis tersedu-sedu sambil terus mengusapi punggung anaknya.

Arletta tidak menyangka akan menghadapi situasi sehangat ini. Cemooh hina yang selama ini membayanginya hilang seketika. Air matanya mengalir deras. Terutama karena Sulthan ikut menghampiri lalu memegangi puncak kepalanya. Walau mimiknya dingin dan tidak ada kata, Arletta tahu sang ayah sama rindunya.

"Sudah berapa bulan, Sayang?" tanya Nadin setelah puas menumpahkan rasa kangen. Ia mengusapi perut buncit Arletta dengan hati-hati.

"Jalan delapan bulan, Mi."

Nadin mendongak ke arah Sulthan. Arletta tidak paham maksud mimik mereka. Tapi detik berikutnya, yang dikatakan Marshal rupanya bukan isapan jempol.

"Sayang, pulang, ya." Nadin menatap penuh harap. Matanya kembali berkaca-kaca. "Mami mohon."

Arletta dilanda gamam. Salah satu alasannya tidak mau pulang adalah bayangan bengis ayahnya, juga Sagan. Satu alasan tadi ternyata tidak seburuk yang ia kira, tapi bagaimana dengan satunya lagi?

"Mereka mau jemput kamu?" Sagan bertanya, mengembalikan Arletta dari lamunan.

"Kamu juga," katanya. "Aku sudah bilang nggak akan pulang jika tanpa kamu."

Sagan kelihatan mengatur napas. Arletta meremas ujung daster dengan resah.

"Mereka bilang oke, Ay. Kamu boleh ikut. Nggak ada syarat apapun. Nggak ada ancaman soal Bayik. Bahkan, bahkan mereka bersedia bantu kasus kamu."

Arletta lagi-lagi melihat dada Sagan yang kembang-kempis.

"Ikut pulang ke rumahku, ya, Ay. Please."

Jantung Arletta berdebar tidak karuan lantaran cowok itu tidak kunjung menjawab. Jarum jam semakin melenggang. Sagan masih bungkam.

"Ay?"

Arletta merekahkan senyum ketika akhirnya Sagan mengangguk. Gelap yang menaungi jalannya selama beberapa bulan terakhir seperti memudar. Ia yakin, ini pasti buah dari kesabarannya. Pasti.

*
*
*

Cuma orang munafik yang bilang uang bukan segalanya. Sebab percayalah, mau seribet apapun perkaranya, jika uang yang berbicara maka keajaiban sudah pasti ada di genggaman.

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang