Kaus Kaki yang Hilang

2.3K 296 168
                                    

"Mohon maaf, Mbak. Pihak bersangkutan menolak untuk bertemu."

"Bapak nyebutin tujuanku datang ke sini, kan?"

"Iya, Mbak. Tapi dia tetap nggak mau."

Malvi merasa pundaknya berat. Tohokan tak kasat mata mendesak ulu hati sampai sesak. Harapannya makin raib. Kenyataan bahwa Sagan masih tidak mau menemuinya benar-benar menguras kesabaran.

Malvi tahu Sagan sengaja menghindar. Yang membuat frustrasi adalah tidak adanya penjelasan. Mereka memang telah berpisah, tapi tidak bisakah Sagan bersikap biasa saja? Menganggapnya teman yang bisa membesuk dan hadir di titik terendah. Kalaupun Sagan tetap tidak mau, paling tidak berikan alasan. Malvi jengkel sekali saat tahu dialah satu-satunya yang tidak mau ditemuinya. Jangan-jangan kebencian pria itu begitu besar makanya tidak mau bertemu.

Malvi meraih KTP yang dijadikannya jaminan untuk membesuk. Dengan langkah berat, ia meninggalkan meja administrasi. Segebung pilu menghimpit dadanya. Tanpa bisa dicegah air matapun mengaburkan pandangan sepanjang kaki melangkah. Ia tidak tahu alasannya menangis. Rasa jengkel lantaran dihindari Sagan, atau kenyataan dirinya yang masih mengharapkan perjumpaan dengan pria itu.

Malvi menyeka wajahnya yang lembap ketika tiba di gerbang utama. Ia melihat sebuah mobil melenggang masuk. Arletta, sang pengemudi, turun dengan cepat. Saking terburu-burunya, wanita itu sempat terseok nyaris jatuh ketika memasuki pintu masuk. Entah apa yang sedang diincarnya, Malvi merasa dia seperti dikejar debt collector.

Malvi tahu Arletta tidak mungkin menerima kekecewaan seperti dirinya. Sagan akan dengan senang hati menemuinya. Mereka akan menghabiskan waktu bersama. Saling mengukuhkan meski harus melewati penantian panjang. Kalau Malvi bertukar posisi, ia tidak yakin bisa bersabar hingga dua dekade.

Jadi, baiklah, memang sudah saatnya melepaskan. Malvi mengepalkan tangan sambil mengatur napas. Begitu kakinya menjauhi pelataran rutan, tekadnya sudah bulat. Selamat tinggal, Mas Sagan.

*
*
*

Arletta langsung menyemburkan satu kalimat begitu Sagan duduk.

"Lagi-lagi ngambil keputusan sendiri!"

Sagan tidak bereaksi. Kurungan penjara lagi-lagi menyerap energinya. Tidak ada senyum dengan gigi rapi-putih-sehat. Tidak ada cahaya di auranya.

Mata Arletta mulai berkaca-kaca. Ia merasa terlalu kacau untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. Alhasil, dia malah menangis dengan tangan ditangkup ke wajah.

"Kamu kenapa, Arba?"

Arletta menatap ke langit-langit agar air matanya berhenti jatuh. Diaturnya napas. Dikontrolnya emosi. Kelebatan pengakuan Qwin semalam membuatnya kembali gusar. Tidak bisa, ia tidak bisa tenang. Ia merasa lutut kanannya naik turun. Sudah ditahannya dengan tinju tapi tremornya tidak hilang.

"Qqq... qqwiin," kata Arletta diikuti kerjapan mata berat. Ia seperti kesusahan menelan ludah. Seakan-akan yang hendak ditelannya adalah buah zakum. "Qwin yang bikin kamu ada di sini, kan?"

Air muka Sagan tidak berubah, tapi Arletta sempat melihat pupilnya membesar.

"Qqq Qwin ..." Suara Arletta masih gemetar. Air matanya jatuh lagi setetes. "Qwin pelakunya."

Sepi. Cuma isakan Arletta yang terdengar, berbaur dengan klik-klik jam dinding. Sagan tetap memandang datar tanpa diketahui siapapun dirinya tengah mencengkeram ujung kaos di bawah meja.

"Qwin masih harus belajar soal mengartikan maksud. Dia——"

"Qwin nggak ngelakuin apapun," tukas Sagan cepat. "Jangan pernah bawa-bawa dia dalam masalahku."

Kaus Kaki yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang