15. Kecewa

1.1K 66 0
                                    

Happy reading

       

      

Sudah 3 hari ini Jerry tidak dapat menjumpai Mael. Entah kemana kakak kelasnya itu. Ruangan Ordis selalu terkunci rapat. Saat istirahat pun ia tidak melihat sosok Mael di kantin. Jerry mencoba menghubunginya. Namun balasan juga tak didapatnya. Jerry jadi bingung. Ia merasa sepertinya Mael menghindarinya. Padahal ada yang ingin dia bicarakan dengannya.

Hal ini membuat Jerry kesal. Maka saat jam istirahat Jerry memutuskan untuk mencari Mael di kelasnya. Dengan mantap ia melangkah menuju kelas yang berada di lantai 3 tersebut. Pintu kelas itu setengah terbuka. Jerry melongok ke dalamnya. Mencari sosok Mael yang kemudian dijumpainya di kursi depan paling jauh dari pintu.

Dengan cuek Jerry masuk menghampiri Mael. Kehadirannya mengundang perhatian penghuni kelas, kecuali Mael yang sedang memunggunginya. Bagaimana tidak. Jerry yang semakin populer sejak pemilihan Ordis kini ada di kelas mereka dan berjalan dengan santai seolah tidak perduli puluhan pasang mata memperhatikannya.

"Kak," panggilnya.

Mael yang sedang serius dengan Junio segera menoleh dan terkejut melihat sosok Jerry ada di depannya. Ia terpaku, tak bisa berkata-kata.

"Ada yang mau aku omongin," ucap Jerry tegas, dengan pandangan yang menusuk.

"El, kita lanjut nanti aja. Kamu ajak Jerry ke ruang Ordis gih. Omong-omongan disana," ujar Junio.

Ia melihat wajah serius Jerry. Berpikir bahwa ada hal penting yang harus mereka bicarakan.

Mael mengangguk. Dengan canggung ia mengajak Jerry beranjak.

"Ayo," katanya.

Jerry langsung melangkahkan kakinya mendahului Mael, menuju ruang Ordis. Mael menghela nafas. Ia menyadari adik kelasnya itu sedang kesal kepadanya. Salahnya beberapa hari ini menghindar. Sebenarnya Mael ingin membicarakan semuanya dengan Jerry. Namun ia masih memantapkan hati untuk mengatakan yang sebenarnya.

Kini mereka tengah duduk di meja tempat biasa Mael dan Jerry menulis laporan di ruang OrDis. Duduk berhadapan dengan tatapan menusuk Jerry membuat Mael merasa tidak nyaman.

"Ada apa?" tanya Mael kemudian.

"Harusnya aku yang bertanya ada apa," ucap Jerry dingin.

"Kakak seperti menghindariku," sambungnya.

Mael menghembuskan nafas.

"Kakak gak menghindar Jerry."

"Lalu kenapa kakak gak pernah balas pesanku?"

Mael terdiam.

"Maaf."

"Jadi Kakak mengakuinya?"

"Kakak gak bermaksud menghindar. Kakak cuma belum siap untuk bicara."

"Kemana Kak Mael yang ku kenal tegas dan berani? Kenapa sekarang untuk bicara saja butuh kesiapan?"

"Karena faktanya menyakitkan, Jer."

"Fakta apa?"

Sebenarnya ia sudah tahu apa maksud Mael. Tapi ia berharap apa yang akan dikatakan Mael tidak seperti apa yang ada di pikirannya.

Mael terdiam lama. Dalam hati ia takut untuk mengatakannya. Takut jika ia jujur Jerry akan marah. Takut jika ia jujur Jerry akan menjauh. Takut jika ia jujur akan mengorbankan kebersamaan yang sudah dia bangun dengan Jerry. Karena ia tidak siap jika harus berjauhan dengan Jerry. Sebab, perasaannya terhadap Jerry sudah semakin besar.

"Aku datang nemuin Kakak buat ngomong, bukan buat diem-dieman!"

Jerry mulai lelah. Namun Mael masih terdiam. Akhirnya Jerry berdiri, hendak beranjak.

"Mami, penyebab Tante Irene meninggal."

Jerry membeku. Ternyata Mael sudah tau. Ia berbalik, menghadap Mael yang menatapnya sedih.

"Entah Om Jay sudah cerita sama kamu atau belum, tapi-"

"Aku juga sudah tau."

Mael terkejut.

"Aku sudah tau sejak 3 hari yang lalu dan aku langsung menghubungi Kakak. Aku nyari Kakak di ruangan ini, tapi selalu terkunci. Aku juga nunggu siapa tau Kakak ke kantin. Tapi nihil. Kakak tau kenapa aku langsung mencari Kakak bahkan setelah tau faktanya?"

Mael masih terdiam.

"Karena aku peduli sama Kakak. Aku gak mau Kakak ngerasa bersalah. Aku mau meyakinkan Kakak bahwa kejadian itu gak akan merubah pertemanan kita."

Terdengar nada suara Jerry meninggi. Emosi menyeruak ke dalam dadanya. Bagaimana bisa ia mencoba mempertahankan pertemanan mereka sedangkan Mael malah menghindarinya.
Ia kecewa. Sementara Mael, ia kembali dibuat terkejut oleh pernyataan Jerry. Mulutnya terkunci rapat saking kagetnya.

Tanpa mereka duga sejak tadi ada Javier yang mendengar percakapan mereka. Ia awalnya ingin mencari Jerry karena Om Jayden memintanya mengantar Jerry pulang. Tapi ia urung masuk karena mendengar percakapan tak biasa diantara keduanya.

Kini Javier tahu kenapa belakangan Jerry selalu keluar kelas lebih dulu, karena mencari Mael di ruang Ordis. Dan kenapa saat di kantin ia terlihat tak tenang, menatap kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu, tapi selalu bilang gak ada apa-apa.

Kembali pada Jerry dan Mael. Mereka masih terdiam dan bergelut dengan perasaan masing-masing.

"Kalau Kakak berpikir aku akan menjauhi Kakak karena kematian Mommy, Kakak salah besar. Aku gak berpikiran sedangkal itu. Dan kalau memang benar Kakak berpikir seperti itu, aku kecewa. Karena ternyata Kakak gak mengenal aku dengan baik. Percuma saja pertemanan dan kedekatan kita selama ini."

Sesudah mengatakannya Jerry beranjak dari hadapan Mael. Mael berusaha menahannya tapi Jerry tak peduli. Dengan penuh emosi ia melangkah keluar, meninggalkan Mael seorang diri. Sementara Mael, ia membeku di tempat. Kata-kata Jerry begitu tepat sasaran. Menusuk tepat di hatinya. Kini rasa bersalah menyeruak dalam hatinya.

      

~

      

Jerry berlalu dari ruang OrDis. Namun baru beberapa langkah ia berpapasan dengan Javier yang muncul dari balik koridor.

"Jer, aku cari-cari ternyata kamu disini," ucapnya setengah terengah-engah karena tadi sempat berlari demi supaya gak ketahuan Jerry sedang menguping percakapannya dengan Mael.

Namun Jerry yang masih diliputi emosi memilih tidak menjawab dan terus melangkah meninggalkan Javier yang kebingungan.

"Jer, tunggu," teriak Javier seraya berlari menyusul Jerry, lalu mensejajari langkahnya.

"Om Jayden minta aku anter kamu pulang nanti. Karena beliau ada keperluan mendadak."

Jerry masih tak memberi respon.

"Om Jayden bilang kamu gak bisa dihubungi. Dimana ponselmu?"

Tapi Jerry masih terdiam. Membuat Javier kesal. Lalu mencekal lengan sahabatnya itu.

"Jer, ada apa?" tanyanya setelah berdiri menghadap Jerry.

Dilihatnya wajah Jerry yang tidak bersahabat.

"Cerita sama aku, kamu kenapa?"

Jerry menatap Javier yang tampak khawatir.

"Aku gapapa," jawab Jerry akhirnya.

Javier menghela nafas.

"Baiklah kalo kamu gak mau cerita, aku gak akan maksa. Tapi aku mau kamu inget. Aku ini sahabatmu. Aku bakal selalu ada setiap kamu butuh."

Jerry memang masih emosi, tapi melihat perhatian Javier padanya, emosinya sedikit menurun.

"Thanks, Jav."

Akhirnya senyum Jerry terkembang walaupun sangat terpaksa.

        

To be continue


My Precious Boy | MarkNo (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang