38 | looking for his promises

612 52 11
                                    

now playing :

feel the lyrics. let's see their fate.

━ ━ ━

1949.

Perang Dunia II telah berakhir. Kini aku sudah menduduki jenjang perguruan tinggi di salah satu universitas yang cukup terkenal di Inggris.

Sudah tujuh tahun lamanya aku dan Louis tinggal kembali dengan Mum dan Dad. Kami sesekali berkunjung ke rumah Millie dan Aidan ketika liburan, ataupun sebaliknya-mereka yang mengunjungi kami.

Sudah tujuh tahun lamanya juga aku tak bertemu lagi dengan sosok Edmund yang selalu berada di pikiranku. Kami memang sering mengirim surat.

Dulu.

Ya, satu tahun terakhir tak pernah lagi karena kami sudah sibuk menghadapi jenjang pendidikan masing-masing.

Sayangnya.. tanpa kusadari, tujuh tahun yang lalu itulah saat terakhir aku bertemu dengan Edmund.

━ ━ ━

"Louis!"

Tak ada sahutan. Hanya suara dengkuran yang tak kunjung selesai.

"LOUISS!!"

"Haahh?!?!" Sosok laki-laki bertubuh tegap yang notabene merupakan abangku sendiri itu, baru saja terbangun. Setelah sekian lama aku membangunkannya dari tadi.

"Kau susah sekali dibangunkan! Gayamu mau bangun jam tujuh. Nyatanya, lihat jam wekermu itu," Aku menunjuk jam weker yang terletak di atas meja samping kasur Louis. Terlihat jarum pendeknya yang menunjuk ke angka 11, dan jarum panjangnya yang menunjuk ke angka 10.

Louis hanya melamun karena nyawanya sepertinya belum terkumpul. Aku menggeleng-gelengkan kepala dan keluar dari kamarnya.

Sudah dari jam tujuh tadi aku membangunkannya karena disuruh Mum. Tapi gagal. Jam delapan? Kembali kubangunkan dia karena aku tengah menyapu rumah dan tepatnya, kamarnya. Berhasil?? Tentu tidak.

Dan sekarang, jam sebelas lewat-karena aku sudah hampir menyerah dari tadi-aku kembali membangunkannya. Barulah dia terbangun.

Aku pergi ke dapur sembari menggerutu. Mum dan Dad sudah pergi bekerja. Hari ini adalah akhir pekan, dan kami tak pergi kuliah. Makanya Louis bisa selama itu tidurnya. Sudah pasti ia begadang tadi malam.

"Kau mau ke mana, [Name]?" Louis yang baru saja mandi datang menghampiri meja makan yang tak jauh dari dapur tempat ku memasak.

"Mengantar makan siang pada Mum seperti biasa," jawabku. "Kau ikut juga."

"Haruskah?"

"Ya harus lah. Jangan malas sekali, Louis," aku memutar bola mataku. "Lagian hanya sebentar saja."

Louis menghela napasnya. "Baiklah. Tapi nanti temani aku membeli burger dulu ya."

"Tempat biasa?"

"Ya."

"Baiklah."

𝐒𝐓𝐔𝐂𝐊 𝐖𝐈𝐓𝐇 𝐘𝐎𝐔, 𝖻𝗈𝗈𝗄 𝟤 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang