27 | home

1K 179 11
                                    

Liburan telah tiba dan rasanya berbeda. Aku menjalani hari-hari liburan dengan biasa saja. Wajahku datar, tak menunjukkan kesenangan. Setiap malam, aku tak bisa tidur. Karena memikirkannya, Edmund.

Begitulah kehidupanku seterusnya. Sampai kembali ke sekolah, dan akhirnya, liburan berikutnya tiba. Perasaanku masih sama.

"Pagi, anak-anak!" Paman Alan bergabung ke ruang makan dengan semangat. Ia mencium pipi Bibi Michelle sebelum duduk di kursinya.

"Pagi, Dad." Millie dan Aidan tersenyum sumringah.

"Pagi, Paman." Aku dan Louis menjawab. Tetapi Louis tersenyum lebar, sedangkan aku hanya tersenyum tipis.

"Wah, tampaknya sarapan ini lezat sekali." Paman Alan tertawa, memandang semua sajian pagi ini.

"Pasti. Mum yang memasak, pasti lezat." Aidan memandang Bibi Michelle yang tersipu malu.

"Kamu bisa saja, Aidan." Bibi Michelle mengelus rambut Aidan. "Ya sudah. Ayo, kita nikmati makanannya."

Kami pun berdoa bersama dan menikmati makanan. Semuanya tampak bersemangat, kecuali aku. Tapi, karena tak mau membuat Paman dan Bibi merasa bingung, aku ikut memasang raut semangat.

Setelah sarapan, aku membantu Millie mencuci piring, lalu berjalan ke kamar dengan gontai.

"Dia kenapa?" Aidan berbisik pada Millie.

"Entahlah. Mungkin karena aku memarahinya barusan, karena dia asyik melamun. Aku merasa bersalah..." Millie menunduk seraya menghela napas.

"Coba kau hampiri dia, Aidan." Louis muncul. "Mungkin dia akan bercerita padamu."

"Hmm." Aidan bergumam. "Bagaimana jika kau saja? Mungkin dia sudah bosan melihatku. Lagipula, kau abangnya. Dia akan lebih luluh denganmu."

"Hah." Louis mendengus. Dia berpikir. "Baiklah."

° ° °

CKLEK.

Aku menoleh perlahan. Terlihat Louis yang masuk ke dalam kamarku.

"Ada apa?" tanyaku pelan, kembali membalikkan badan, menghadap dinding. Aku duduk bersilang kaki di atas kasur, menatap dinding dan kembali memikirkan apa yang akan kulakukan pada liburan ini.

Louis duduk di atas kasurku, di sebelahku. "Kau tidak apa-apa, [Name]?"

"Maksudmu?" tanyaku, masih dengan suara pelan dan lirih.

"Maksudku... kau tampak selalu murung." Louis mengangkat bahu. "Kau kenapa? Masih belum bisa melupakan mereka?

"Aku tak apa-apa." Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja."

Louis menghela napas. Ia memegang pundakku. "Kau memikirkan Edmund?"

Aku diam, dan mengangguk.

"[Name], dengarkan aku. Edmund pasti akan kembali. Kau pasti bisa bertemu dengannya lagi. Edmund juga sudah bilang, kau bisa mengirim surat padanya. Menanyakan kabarnya, memberinya kabar, atau bercerita dengannya." Louis menatapku.

Aku hanya diam menunduk.

"Aku tak mau melihatmu seperti ini terus. Apalagi saat kita pulang nanti."

Sekarang, aku menoleh.

"Pulang?" Aku mengernyitkan dahi.

𝐒𝐓𝐔𝐂𝐊 𝐖𝐈𝐓𝐇 𝐘𝐎𝐔, 𝖻𝗈𝗈𝗄 𝟤 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang