1952.
"Jadi, bagaimana, [Name]?"
Aku menolehkan kepala.
"Kau yakin akan bekerja di Amerika?"
Aku mengangguk. "Yakin, Louis."
Dengan helaan napas berat, aku berkata, "Tak ada salahnya kan? Aku ingin mencari pengalaman ke luar negeri."
Louis tersenyum. "Alasan yang bagus. Semangat, [Name]. Terus kejar impianmu. Jangan pernah bersedih lagi. Jika ada suatu masalah, ceritalah padaku. Jangan dipendam sendiri. Ya?"
Aku tertawa kecil, seraya mengangguk.
"Tetap mengirim surat, [Name]. Sesibuk-sibuknya kami di sini, pasti suratmu akan tetap kami baca kok."
Aku memukul bahu Louis dengan pelan. Louis pun tertawa.
"[Nameeee]."
Aku dan Louis menoleh. Terlihat sosok Aidan—sepupuku yang sudah lama tak muncul itu—di ambang pintu kamarku.
"Sudah siap? Lama sekali kau ini," komentar Aidan. Dia sekarang lebih cerewet daripada yang dulu. Entah apa yang merubahnya semakin lama.
"Sabar. Ternyata banyak yang belum kumasukkan tadi," ujarku, segera menutup koperku. "Aku sudah selesai kok. Ayo kita turun."
Louis membantuku membawa koperku satu lagi. Sementara Aidan sudah berjalan pergi. Aku yang terakhir keluar dari kamar. Sebelum meninggalkan kamar ini, aku memandang seisi kamar dengan senyuman yang terukir di wajahku. Untuk waktu yang lama, sepertinya aku tidak akan menempati kamar itu lagi.
Aku akan pindah ke Amerika Serikat. Menggapai cita-citaku di sana, dengan Aidan. Ada tawaran pekerjaan dari fakultas kampus yang menarik bagiku, dan itu mewajibkanku untuk pergi ke Amerika. Kebetulan sekali, Aidan pun mendapatkan tawaran yang sama dari kampusnya.
Kami sudah lulus dari jenjang S1 itu, dan sekarang waktunya kami untuk mencari pekerjaan.
"Ah, dua anak kita yang sudah dewasa," Mum dan Bibi Michelle menyambut kami di ruang makan. Aku tersenyum berseri-seri.
"Mari kita semua sarapan dulu sebelum ke pelabuhan!" ajak Paman Alan kepada seluruh penghuni rumah.
Paman Alan sekeluarga sudah menginap selama seminggu di sini. Sekalian mengantar Aidan dan aku, mereka juga berliburan ke kota kami. Aku sangat gembira ketika bertemu mereka lagi setelah sekian lamanya. Rasanya seperti deja vu. Walau kami tak bisa lagi bermain-main di peternakan Paman Alan seperti dulu, tapi tidak apa-apa. Bertemu dengan mereka saja sudah sangat menyenangkan.
Aku makan di samping Louis seperti biasa, berhadapan dengan Aidan. Millie berhadapan dengan Louis. Ia sudah tumbuh semakin cantik sekarang.
Kami semua berubah. Louis yang dulu lebih suka marah-marah dan pemalas sekali, sekarang menjadi lebih bijak. Millie yang dulu feminin dan cukup mentel... masih feminin juga sih. Aidan yang dulu usil tingkat dewa, sekarang lebih tenang dan disiplin. Sedangkan aku? Ya. Aku yang dulu tengil dan tak peduli gaya, sekarang lebih feminin karena semakin dewasa.
Everything has changed, right?
Aku menikmati sarapan itu dengan nikmat. Benar-benar kumanfaatkan waktu terakhirku dengan mereka, sebelum pindah ke Amerika dan menjalani kehidupan yang lebih baru.
Selama sarapan, Dad dan Paman Alan sesekali membahas tentang politik masa sekarang. Mum dan Bibi Michelle juga memiliki pembahasan mereka tersendiri tentunya. Sementara kami? Sama seperti ibu kami. Ada juga yang kami bahas.
"So, jika kalian di Amerika bertemu seorang lelaki yang tampan, beritahu aku ya?" ujar Millie seraya tersenyum-senyum manis.
"Bukannya kau sudah kencan dengan Luke?" tanya Aidan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐓𝐔𝐂𝐊 𝐖𝐈𝐓𝐇 𝐘𝐎𝐔, 𝖻𝗈𝗈𝗄 𝟤 ✓
Fanfiction[ completed ] ❛ i don't know why i'm still stuck with you, ed. ❜ - edmund pevensie x fem!reader - fanfiction - berdasarkan cerita The Chronicles of Narnia karangan C.S Lewis - sequel of 'Special Changes' ﹙+13﹚ ﹙written in bahasa﹚ ﹙hanya mengambil be...