Bab 26 - Libur Musim Panas Tiba

6 0 0
                                    

Akhirnya libur musim panas tiba! Ini adalah hari terakhir anak-anak berada di sekolah. Hari ini, suasana sekolah sungguh hingar bingar dengan segala kesibukan dan persiapan murid-murid yang akan segera kembali ke rumah masing-masing dan berkumpul bersama keluarga. Meskipun kepala asrama sudah memperingatkan mereka untuk tidak berlarian kesana kemari dan berteriak, tapi sepertinya percuma saja mengendalikan bocah-bocah remaja itu untuk bersikap tenang di saat-saat seperti itu! Akhirnya kepala asrama menyerah, ia hanya duduk saja di bangku di tepi aula sambil memijit keningnya saat memandang semua keributan itu. Sungguh mengherankan, sepertinya pelajaran etika yang mereka pelajari selama satu tahun ini menguap begitu saja dari otak mereka begitu hari libur tiba! - batin kepala asrama. 

Di antara keributan itu, Lira adalah satu di antara anak-anak yang juga sudah tidak sabar untuk meninggalkan asrama. Ia agak sedih karena tidak bisa berkumpul bersama keluarganya, tapi bayangan akan pengalaman barunya di ibukota sedikit menghiburnya. Ditambah lagi, dia masih kesal dengan Koln beberapa waktu yang lalu. Setelah pertemuan terakhir mereka yang diakhiri dengan pertengkaran, mereka belum saling bertemu lagi. 

"Apakah kau sudah selesai mengemasi barang-barangmu?", Evelyne melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar. Dia baru saja mengangkut kopornya yang ketiga ke aula. Sebentar lagi kereta kuda neneknya akan menjemput mereka, dan langsung membawa mereka ke stasiun. 

Lira bangkit dari tempat tidur. "Ya! Tidak banyak yang kubawa, karena aku tidak punya banyak barang sepertimu!", katanya, sambil menjinjing sebuah kopor kecil yang berisi seluruh barang-barangnya. 

Berdua kemudian mereka menuju ke halaman sekolah, dimana kereta kuda neneknya telah menunggu di sana. Lira sangat senang, karena ini kali pertama ia naik kereta uap. Dia membayangkan perjalanan yang akan ia lalui, melewati gunung-gunung, lembah, hutan dan kota-kota yang berbeda-beda sebelum sampai ke ibukota. 

"Apakah kalian tidak lupa bekal kalian, anak-anak? Perjalanan kalian akan sangat panjang, lebih dari enam jam, dan akan sangat menyedihkan kalau kalian kelaparan sepanjang perjalanan!" kata nenek Evelyne. 

"Tenang saja, Grandma! Kau membawakan kami sekarung makanan, yang bahkan mungkin tidak akan habis meskipun dimakan seluruh anak-anak di gerbong kami!" kata Evelyne dengan ceria, sambil menepuk sebuah bungkusan besar yang berisi berbagai macam bekal makanan. 

Neneknya tertawa mendengar jawaban Evelyne. "Kalian anak-anak remaja tidak pernah berhenti makan! Bahkan jika seluruh gerbong berisi makanan, aku yakin kalian sudah akan menghabiskannya dalam separuh perjalanan!" 

Kereta kuda tersebut mengantarkan mereka ke stasiun di tengah kota. Sebelum mereka naik ke kereta, Evelyne dan Lira bergantian memeluk neneknya dengan penuh rasa sayang. Selama satu tahun ini, semenjak Evelyne sering mengajaknya berkunjung ke rumah neneknya, tumbuh rasa sayang Lira pada perempuan tua yang ramah dan baik hati tersebut. Lira tidak pernah mengenal seorangpun nenek manusia selama hidupnya, dan sungguh sangat menyenangkan rasanya jika ia bisa memiliki satu saja seorang nenek manusia yang akan memanjakannya dengan berbagai macam hal. 

"Nenek yakin tidak akan ikut kami ke ibukota?" tanya Evelyne sekali lagi. Ia sangat ingin neneknya ikut dengan mereka ke ibukota. Dulu, saat Evelyne masih kecil, neneknya sering datang berkunjung ke rumah mereka di kota. Tapi kini neneknya sudah semakin tua, dan perjalan jauh ke ibukota serasa terlalu berlebihan untuknya. 

"Tidak, sayangku! Aku sudah terlalu tua untuk bepergian jauh. Tapi aku akan ada di sini, menanti kalian selesai liburan! Berhati-hatilah dan nikmati perjalanan ya!" 

Peluit tanda kereta akan berangkat berbunyi. Sekali lagi mereka bergantian memeluk nenek Evelyne sebelum akhirnya naik ke kereta. Sesaat sebelum ia masuk ke dalam gerbong, Lira menengadahkan mukanya ke atas, memandang langit, dan berusaha mencari satu titik hitam di angkasa. Cuaca hari itu sangat cerah, langit biru tak berawan, dan tak ada satu titik hitampun yang melayang-layang di antara birunya langit tersebut. Dia mendesah sedih untuk sesaat, sebelum kemudian mengikuti Evelyne masuk ke dalam gerbong. 

Perjalanan dengan kereta uap sungguh sangat berbeda rasanya! Gerbong-gerbongnya yang panjang meliuk-liuk dan berkelok-kelok mengikuti jalur rel, dan Lira dapat merasakan getaran roda-roda kereta saat benda tersebut berjalan dengan kecepatan tinggi. Jika dipikir-pikir, kereta hampir mirip dengan naga, panjang, ramping dan nampak gagah, hanya saja tidak bisa terbang. Berada di dalam gerbong tersebutpun terasa seperti terbang bersama naga. Jika kau melongokkan kepalamu ke luar jendela, maka kau akan bisa merasakan tiupan angin kencang menerpa wajah dan rambutmu. Juga pemandangan yang seakan melesat cepat di sekitarnya, silih berganti bagaikan kaleidoskop yang sangat indah. Lira bisa melihat pemandangan ladang dan desa-desa kecil bergerak silih berganti, juga bukit-bukit batu yang mengelilingi sekitarnya saat kereta itu berjalan berkelok-kelok dengan kecepatan yang konsisten. Dia terpana dengan semua yang saat itu disaksikannya, dan pemandangan bukit-bukit batu itu, lembah-lembah yang indah itu, sekali lagi mengingatkannya pada pegunungan sunyi. 

"Apakah kau memikirkan keluargamu?" tanya Evelyne, ketika ia mengamati sahabatnya tersebut terlihat sedikit murung. 

Lira mengalihkan pandangannya dari jendela, lalu menjawab, "Yah, sedikit. Dulu aku dan Koln sering terbang bersama di antara bukit-bukit seperti ini, aku selalu menyuruhnya terbang sekencang mungkin, tapi dia selalu berhati-hati dan terbang seperti seekor naga tua!" 

Entah kenapa, menyebutkan nama sahabatnya tersebut membuatnya sedih. Hatinya seakan-akan ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Dia merasa sedih jika mengingat pertengkaran mereka, tapi hatinya juga terlalu diliputi rasa kesal sehingga dia kesulitan mengambil sikap yang lebih baik. Tapi, kemurungan Lira segera teralihkan ketika kemudian kereta tersebut semakin jauh bergerak, dan mulai melintasi kota-kota lain yang lebih besar dan lebih ramai. Berbagai macam manusia silih berganti naik turun kereta, dengan warna kulit yang berbeda-beda, pakaian yang berbeda-beda, dan beberapa bercakap-cakap dengan bahasa yang asing bagi Lira. Pedagang-pedagang yang naik turun di setiap stasiun menjajakan benda-benda dan makanan yang banyak darinya belum pernah dilihat oleh Lira. Belum pernah dalam hidupnya dia melihat manusia sebanyak itu, hilir mudik dan saling sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Sungguh sangat berbeda dengan Ebersberg maupun Inglostad! 

"Apakah ibukota akan seramai ini?" tanya Lira pada Evelyne. 

"Oh, lebih ramai lagi!", jawab Evelyne bersemangat. "Kau bisa melihat semua hal di ibukota! Kita bisa pergi ke kebun binatang, atau menonton sirkus, ke kolam renang! Dan kau juga bisa melihat air mancur yang sangat besar di depan balai kota, tempat ayahku bekerja! Kau juga bisa pergi ke perpustakaan kota, tempat itu sungguh besar dan penuh dengan buku, sampai-sampai kau bisa tersesat di dalamnya!", jawab Evelyne dengan antusias. 

"Oh, dan kau juga harus bertemu dengan Magdalene, juru masak kami! Dia bisa membuat pie daging yang sangat enak! Katanya resep pie daging itu sudah diturunkan turun-temurun dari jaman nenek buyutnya!" 

Lira berbinar-binar mendengarkan cerita Evelyne. Dia sungguh sangat tidak sabar untuk segera melihat ibukota dan menjelajahinya! Dan sejauh ini, semua berjalan dengan baik-baik saja. Kekhawatiran Koln sama sekali tidak terbukti, tidak ada bahaya apapun yang menghadangnya! Lagipula, siapa yang akan tertarik padanya, seorang bocah cilik biasa-biasa saja seperti Lira? Dan dia yakin, bahwa liburannya kali ini pasti akan sangat mengasyikkan! 

Petualangan Lira dan Para NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang