Bab 56 - Tekad yang Kuat, Pikiran yang Jernih, Hati yang Bersih

5 1 0
                                    

Baik Lira maupun Koln tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Petunjuk Sang Tabib benar-benar membingungkan, dan menurut mereka, sama sekali tidak membantu apapun. Sungguh kesal hati Lira maupun Koln - mereka tahu bahwa penyihir cenderung suka bertele-tele dan tidak langsung tepat sasaran, tapi seharusnya tidak di saat yang menentukan seperti ini! 

Sementara itu, di atas punggung Koln, Lira berusaha sekeras mungkin memikirkan perkataan Master Hector, Sang Tabib. Tekad yang kuat, pikiran yang jernih, hati yang bersih - apa maksudnya semua itu? Tentunya Master Hector mengatakan kalimat itu tidak dengan tanpa maksud apa-apa. Meskipun cenderung bertele-tele, perkataan seorang penyihir pasti memiliki makna tersembunyi di sana, sebuah petunjuk yang sangat nyata. 

"Koln, dimana kamu merasakan saat-saat paling membahagiakan dalam hidupmu? Tempat yang dapat membuatmu tenang dan damai, yang membuatmu merasa hidup begitu indah dan menenangkan?" kata Lira dari atas punggung Koln. Saat itu mereka masih terbang melayang di atas langit yang tinggi, jauh di atas awan. 

Koln berpikir sejenang. "Hmmmm... tidak ada tempat lain yang kupikirkan selain Pegunungan Sunyi!" kata Koln akhirnya. "Aku suka saat aku terbang dengan kecepatan tinggi, di antara tebing-tebing dan bebatuan, di tengah kabut dingin di tempat yang sangat tinggi. Aku suka ketika tidak ada suara lain selain kepakan sayapku dan udara yang menderu di sekitarku!" kata Koln. Saat mengatakannya, ia memejamkan mata, berusaha membayangkan saat-saat menyenangkan terbang di antara kabut dingin di ketinggian Pegunungan Sunyi. 

"Pegunungan Sunyi!" batin Lira dalam hati. Iapun memejamkan matanya, berusaha membayangkan tempat yang sudah lama dirindukannya tersebut. Ia membayangkan sarang naga, ia membayangkan masakan Mamma, kasih sayang keluarganya, hari-hari membahagiakan yang dihabiskan di sana, serta saat-saat menyenangkan saat ia terbang bersama Koln, di atas Pegunungan Sunyi yang tenang dan damai. Lalu, tanpa sengaja, tangannya bergerak menyentuh dadanya, tempat ia menggantungkan liontin perak yang dulu ditemukannya di gua rahasia. Saat itu, tiba-tiba saja, Lira seperti merasakan sengatan listrik yang mengaliri tubuhnya, memberikan sensasi hangat yang luar biasa menjalar ke tubuhnya, sesuatu yang dirasakannya sebagai campuran antara kerinduan, kasih sayang, dan ketulusan yang campur aduk menjadi satu. Dan tiba-tiba saja, pikirannya merasa terbuka! Pikiran yang jernih, hati yang bersih! Ya, itu adalah petunjuk yang sangat jelas! Gerbang Surga tidaklah berada di suatu tempat di muka bumi ini, tapi ada di hati kita! Master Hector telah memberikan petunjuk yang tepat - bahwa Gerbang Surga hanya bisa ditemukan ketika pikiran kita tidak dibebani oleh kekhawatiran, keserakahan, dan nafsu apapun, melainkan saat kita benar-benar bisa melepaskan semua hal tersebut dari diri kita! Pintu itu akan terbuka dengan sendirinya ketika kita berhasil melepaskan segala hawa nafsu tersebut! Dan bagi Lira maupun Koln, itu berarti adalah saat-saat dimana mereka terbang bersama, berputar dan berkelok-kelok menempus kabut pegunungan sunyi dalam kecepatan tinggi, berdua dan saling merasa percaya serta berbagi kebahagiaan. Mereka hanya memusatkan perhatian pada apa yang ada di depan mereka, terbang berkelok menembus sela-sela perbukitan yang rapat, yang hanya bisa dilakukan ketika mereka berkonsentrasi penuh dan saling percaya.  

"Koln, kurasa aku tahu jawabannya!" teriak Lira, berusaha mengatasi deru angin yang menerpanya. "Kita ke Pegunungan Sunyi!" katanya kemudian. 

Belum pernah Koln terbang secepat itu dalam hidupnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menambah laju terbangnya. Meskipun saat itu sayapnya terasa pedih teriris-iris, tapi ia membulatkan tekad. Mereka harus sampai ke Pegunungan Sunyi, dan terbang terus dalam kecepatan ini, sehingga tidak ada satupun yang dipikirkannya selain terus terbang dan terbang bersama Lira, sahabatnya. Dan bagi Lira, ia menaruh kepercayaan penuh pada sahabatnya tersebut, memeluk erat leher Koln dan membungkukkan badannya menahan deru angin yang bisa saja menghempaskannya ke belakang setiap saat. Ia menghilangkan segala kecemasan yang menghantuinya, tentang nasib penduk ibukota, serbuan para naga, rasa penasarannya terhadap asal-usulnya dan orangtuanya, semua itu seperti terbang begitu saja bersama debur angin yang menerpa tubuhnya. Terbang! Hanya terbang yang dipikirkannya! Terbang bersama Koln, sahabatnya! 

Beberapa saat kemudian, mereka melihat deretean gunung-gunung di kejauhan, Pegunungan Sunyi yang semakin lama semakin nampak jelas di balik tutupan kabut yang menyelimutinya. Koln tidak mengurangi kecepatannya. Seluruh konsentrasinya ia gunakan untuk terus terbang secepat mungkin menuju ke Pegunungan Sunyi, tempat sarangnya berada, tempat keluarganya menunggunya. Dalam beberapa saat, mereka telah terbang di antara bukit-bukit batu terjal, melewati lembah yang hijau subur, dan terus mendaki menuju ke puncak-puncak tertinggi. Ia terbang terus ke atas, menghempaskan segala rasa takut dan keraguan yang selama ini dirasakannya tiap kali ia terbang ke puncak tertinggi, dan terus memusatkan konsentrasinya pada kepakan sayapnya, udara yang menyerbu sekujur tubuhnya. Dalam sekejap mereka telah melewati tempat dimana Livet Gras tumbuh, puncak-puncak tertinggi dimana udara semakin berkurang, sehingga sayapnya semakin terasa berat untuk dikepakkan. 

"Terus terbang, Koln! Terus terbang!" teriak Lira dari punggungnya. Gadis itupun dengan susah payah berusaha berpegangan pada surai Koln, bertahan untuk tidak jatuh, tapi dia tidak meminta Koln untuk mengurangi kecepatannya. Dalam gesekan angin yang kencang yang menerpa tubuhnya akibat kecepatan yang tinggi, tidak ada hal lain yang dipikirkan Lira selain berkonsentrasi melihat apa yang ada di depannya. Dia memusatkan perhatian pada batu-batu dan tebing-tebing terjal di depannya, seolah-olah menjadi mata ketiga bagi Koln yang tengah berkonsentrasi dengan arah terbang dan kepakan sayapnya. 

Mereka terus terbang tinggi, meninggalkan sarang mereka jauh di belakang, menuju ke tempat-tempat yang belum pernah mereka datangi. Tempat-tempat asing yang misterius, yang selalu tertutup kabut tebal karena letaknya yang tinggi. Setiap kabut yang tersibak bisa membawa kemungkinan apapun bagi mereka: entah tiba-tiba sebuah dinding batu yang tinggi yang akan menghempaskan tubuh mereka jika mereka gagal menghindar, ataukah udara kosong yang akan terus membiarkan mereka terbang dalam kecepatan ini. 

Semakin lama, Koln merasakan kepakan sayapnya semakin berat. Udara yang semakin menipis membuatnya susah mengendalikan arah terbangnya. Namun begitu, dengan tekad penuh, ia tetap mengepakkan sayapnya. 

"Aku hanya perlu berkonsentrasi untuk terbang!" katanya dalam hati. "Terbang, dan aku akan bisa menyelamatkan Pappa!" begitu terus pikirnya. 

Mungkin, bagi banyak orang, hal ini terdengar konyol. Bagaimana mungkin dengan terus berkonsentrasi terbang kau bisa menemukan Gerbang Naga dan menyelamatkan seluruh penduduk kota? Akupun juga mungkin akan berpikir seperti itu. Sebagai orang dewasa yang telah kehilangan kemampuan untuk berimajinasi, apa yang tidak bisa kulihat dan kukonfirmasi kebenarannya, maka hal tersebut kuanggap tidak ada. Mungkin itulah yang kemudian menyebabkan banyak orang dewasa kehilangan kemampuannya untuk berimajinasi dan menerima keajaiban, karena dalam hatinya sudah mengandung ketidak percayaan. Padahal, sebenarnya, keajaiban adalah sesuatu yang nyata - hanya dibutuhkan kepercayaan dan tekad yang kuat untuk mewujudkannya, dan itulah yang sedang dilakukan oleh Lira dan Koln. 

Semakin terbang ke atas, semakin lemah kepakan sayapnya. Namun ia tetap bertekad untuk terus mengangkasa tanpa mengurangi kecepatannya, sampai kemudian, pada suatu titik, Koln tidak bisa lagi menahan kepakan sayapnya. Ia benar-benar kehabisan tenaga, dan pelan-pelan, kecepatannya semakin berkurang, dan tubuhnya terhempas ke bawah! 

"Koln!" teriak Lira, tapi dia tidak melepaskan pegangannya. Alih-alih, dipeluknya leher Koln kuat-kuat, dan dengan saling berpelukan, mereka berdua meluncur ke bawah, jatuh menembus gulungan awan-awan dan kabut tebal yang bagaikan sebuah mangkuk raksasa yang menelan mereka. Dalam beberapa saat, tubuh mereka akan hancur berkeping-keping, menghantam bebatuan tajam yang ada di bawahnya! 

Namun anehnya, tidak ada sedikitpun rasa takut yang menyelinap di hati mereka. Keduanya terhempas ke bawah dalam kecepatan tinggi, dan satu-satunya perasaan yang ada di dalam hati mereka adalah rasa bahagia yang membuncah, kebahagiaan karena mereka telah menyatu bersama, meninggalkan semua kekacauan dan kecemasan yang selama berhari-hari ini telah mendera hati mereka. Mereka telah terbebaskan dari segala nafsu dan prasangka.  

Petualangan Lira dan Para NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang