Semua mimpi buruk Yara berawal dari malam itu.
Malam itu adalah malam pertama Yara akan tidur dikediaman barunya. Bersama Mahesa yang sudah berstatus suaminya.
Ada perasaan deg-degan yang muncul.
Tentu saja.
Karena walaupun mereka menikah karena keinginan Om Reynald. Mereka berdua sepakat untuk menjalani pernikahan yang normal.
"Cinta bisa tumbuh seiring waktu"
Yara menyetujui perkataan Mahesa yang satu itu.
"Aku nurunin barang dulu. Kamu sama Citra duluan aja" permintaan Noel dilakukan dengan mudah oleh Yara.
Dia disambut hangat oleh pelayan yang masih terjaga karena malam memang sudah sangat larut
Tapi larutnya malam tak menyurutkan rasa excitement yang bergemuruh dihati Yara. Dia bahkan masih sempat-sempatnya tertawa bersama Citra mengenai walk in closet di kamar utama yang akan dipenuhi barangnya.
"Barang kamu dimasukin ke kamar sekarang atau gimana?" Tanya Noel setelah berhasil memindahkan barang bawaan mereka bertiga yang lumayan banyak masuk ke rumah baru Yara.
"Sekarang aja. Tapi gue masuk duluan deh, takutnya Mahesa keganggu kalau gak izin" jawab Yara yang akhirnya membawa kakinya menuju lantai atas. Menuju kamar utama.
Kamar itu didesain sebagus mungkin sesuai keinginannya. Dia bahkan membeli kasur custom made olahan luar negeri yang harus menunggu dua bulan untuk kasur itu bisa masuk kamar mereka begitu pula dengan semua interior kamar utama. Yara turun tangan langsung mencari semuanya agar kualitasnya gak main-main.
Mungkin ada kali ya lima langkah lagi Yara bisa mencapai kamar utama, namun di lima langkah terakhirnya, Yara terhenti.
"Esa!"
Suara yang keluar dari kamar utama membuat pergerakannya terhenti.
Suara itu milik perempuan, terdengar dari betapa merdunya suara itu keluar.
Yara tetap diam. Dia berusaha...tenang.
Iya, berusaha tenang walaupun jantungnya sudah berdetak kencang lebih dari biasanya.
"Oh God! Esa, Terus! Oh!!"
Kaki Yara yang awalnya kuat tiba-tiba terasa kehilangan tenaga, dia hampir saja fokusnya terbelah sesaat.
Rintihan
Desahan
Teriakan erotis
Apalagi yang terjadi di kamar utama jika bukan pergumulan panas?
Yara seperti kehilangan ingatan tentang cara bernafas saat itu. Tangannya gemetar dan dingin. Tubuhnya lagI-lagi hampir terhempas jika saja Noel terlambat barang sedetik.
"Yara? Hei? Kamu kena-" pertanyaan Noel terpotong dengan teriakan erotis perempuan yang ada di kamar utama.
Emosi Noel tersulut.
"Bangsat-" Ujar Noel yang ingin mendobrak pintu kamar utama namun ditahan oleh Yara.
Yara menatap Noel. Sok jenaka. "Biarin aja. Kita tungguin, I want to know how much longer they can do it" Ujar Yara diakhiri tawa getir. Wajah perempuan itu terlihat pias dan menyedihkan.
Noel menutup matanya merasa semua ini konyol.
Dari awal seharusnya Noel kekeuh melarang Yara menerima permintaan Om Reynald.
Noel merapikan anak rambut Yara yang berantakan lalu menampilkan senyumnya. Perlahan tangannya menutup kedua telinga Yara.
"Jangan didengerin, kamu fokus ke aku aja"
Perkataan Noel membuat nafas Yara tersengal hingga airmatanya mulai menggenang. Isakan kecil mulai terdengar dari mulut Yara.
Noel mengalihkan pandangannya.
Yara yang menangis bukan pemandanngan favoritnya.
Hingga tiga jam setelahnya barulah pintu kamar utama terbuka. Menampilkan sosok perempuan menggunakan lingerie merah yang samar transfaran. Sosok itu terlihat kaget karena keberadaan Yara juga Noel.
Yara menatap datar perempuan yang akhirnya Yara kenal sebagai Arina.
"Siapa nama kamu?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Yara.
"Saya Arina, sekretaris Pak Mahesa"
Oh. Pantas saja wajahnya familiar.
"If I'm being you, I'm gonna be crazy mad"
Perkataan Yara menimbulkan kerutan heran didahi Arina yang mengeratkan mantel tidur yang dia gunakan. Dia awalnya ingin mengambil air namun terhenti saat ada istri Mahesa.
Istri berumur satu hari Mahesa.
"Kamu dibayar cuman untuk jadi sekretaris. Padahal kamu juga pelacurnya. Seharusnya kamu juga dibayar untuk servis kamu yang itu. Miris"
Arina emosi namun menghadapi Yara sekarang dengan serangan fisik bukan hal baik. Dia memiliki pelindung.
"Anda gak perlu mikirin bayaran saya. Karena yang sebenarnya menyedihkan disini bukan saya tapi anda. Hari ini harusnya anda, kan yang menemani Mahesa?"
"...."
"Sayang sekali, dia lebih memilih saya. Ya, mungkin karena anda telat. Mahesa bukan orang yang suka menunggu untuk urusan ranjangnya. Ah! Maaf ya, kasur anda saya pakai duluan-"
"Jaga mulut kamu!" Potong Noel saat merasakan genggaman Yara mengerat ditangannya.
Arina menatap remeh keduanya. Lalu membungkuk perlahan.
"Saya ke dapur dulu kalau begitu. Selamat menikmati malam pertama anda, Bu Nayarra"
Setelah malam itu, tanpa penjelasan apapun, Yara memindahkan semua barangnya ke kamar paling jauh dari kamar utama agar dia tak terlalu banyak bertemu dengan Mahesa.
Dia bahkan harus bertengkar hebat dengan Mahesa, karena laki-laki itu bersikeras jika mereka harus satu kamar dan menjalani pernikahan yang normal.
"Gak ada yang normal dari kita, Mahesa!"
Kali itu pertama kalinya Mahesa melihat Yara menangis.
Dia menangis karena sudah gak bisa berpikir jernih lagi dengan keadaan yang dia alami.
"Jang-jangan nangis" Mahesa berusaha menangkap tangan istrinya namun Yara mengibaskan tangannya.
"Gue... how can you treating me like this, Mahesa? Gue salah apa?" Isak Yara yang sudah terduduk disebelah kasurnya.
Mahesa menatap Yara sedih. Mahesa sebenarnya bingung kenapa Yara bisa bicara seperti itu padanya. Namun dia tak terlalu peduli tentang apa yang Yara katakan. Yang dia perdulikan sekarang adalah tangis pilu Yara.
Maka dengan perlahan Mahesa membungkus Yara ke dalam pelukannya dan merapalkan kata maaf.
Mahesa akhirnya mengalah.
Dia membiarkan Yara untuk melakukan apa yang perempuan itu inginkan.
Tanpa tahu jika perbuatannya membuat jarak antara mereka semakin menganga lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ten Days Operation
Fanfiction"Ten days. Give him ten days to fix everything. Kalau memang tak bisa diselamatkan lagi, maka kamu bebas melakukan apa yang kamu mau" Photos Credit : Pinterest