XXXIII

506 86 10
                                    

Mahesa membuka matanya karena tidak merasakan keberadaan sang istri.

Yara menuruti keinginannya. Tentu saja, perempuan itu selalu menuruti keinginannya dan Mahesa sangat bersyukur akan hal itu.

Tapi Kepulangan Yara tadi malam bukan seperti biasanya. Tak ada senyum yang menghiasi wajah cantik perempuan itu.  Biasanya Yara akan menampilkan senyum hangatnya dan memberikan pijatan singkat ditengkuk nya.

Mahesa mengambil hp nya untuk mengecek jam berapa sekarang. Jam tiga subuh. Jika boleh memilih Mahesa mau melanjutkan tidurnya tapi gak jadi, soalnya keabsenan Yara di ranjang sedikit membuat Mahesa gelisah.

Dengan perlahan Mahesa berjalan menggunakan bantuan kruk nya dengan niat mencari sayng istri.

"Yara" panggil Mahesa sedikit lantang yang terdengar menggema di kediaman mereka yang lumayan megah.

Nihil. Tak ada jawaban.

Seketika ada rasa ketakutan muncul.

"Dia pergi ninggalin gue?"

"Yara!" Teriak Mahesa lebih keras dan mungkin bisa aja ngebangunin satu rumah.

Hanya untuk mencari sang istri.

"YA-" teriakan Mahesa terpotong saat melihat akses menuju pekarangan belakang terbuka lebar.

Dulu, saat mereka masih tidur dikamar masing-masing. Ada beberapa saat dirinya mendapati Yara berada di pekarangan belakang bersama Noel di pagi buta seperti sekarang. Mereka duduk dirumput tanpa alas apapun dan memandangi bunga-bunga yang Yara tanam sambil membicarakan sesuatu yang Mahesa tak paham karena terlalu jauh untuk mencuri dengar.

Mengingat hal itu, Mahesa tergesa berjalan menuju halaman belakang rumahnya.

Dan benar. Yara ada disana.

Namun tak seperti dulu, Yara memilih untuk duduk di kursi santai yang Mahesa memang siapkan untuk perempuan itu kala tahu jika Yara suka menghabiskan waktu di halaman belakang.

Sebenarnya kalau diteliti lebih jelas, Mahesa dari dulu memang sangat memperhatikan Yara.  Dia banyak melakukan perubahan di kediaman mereka untuk Yara. 

Dulu Yara pernah jatuh dari tangga hingga kaki perempuan itu terkilir.

"Dapur lo kejauhan. Gue mau ngambil minum" komentar Yara pas Mahesa menanyakan kenapa perempuan itu bisa jatuh hingga terkilir.

Setelah itu Mahesa langsung membayar beberapa pekerja konstruksi untuk membangun pantry kecil di lantai atas agar Yara bisa mengambil minum tanpa harus turun ke lantai bawah.

Atau disaat Yara sedang serius menanam bunga dulu. Biasanya perempuan itu jadi lupa waktu dan bisa melakukan hobinya itu saat matahari sedang terik-teriknya. Melihat hal itu, Mahesa langsung meminta seorang pelayan menemani Yara dan memayungi sang istri.

"Yara"

Mahesa dapat melihat lamunan istrinya terpecah saat menyadari keberadaannya yang sudah sangat dekat dengan perempuan itu.

"Kenapa disini? Kok gak tidur?"

"I can ask the same question. Kamu kenapa disini? Di jam seperti ini? Nanti masuk angin" balas Mahesa.

Dia dapat melihat raut kelelahan Yara.

"Is anything bad happen, Yara?" Tambah Mahesa dibalas tawa hambar oleh Yara.

"Yah gitu deh. Gue juga gak paham kenapa yang bad-bad tends to attract me. Gue kayak dikutuk rasanya"

Yara lagi gak bisa berpura-pura. Pikirannya lagi kacau hanya untuk sekadar memakai aku-kamu.

Pertemuannya dengan Helios membuatnya kacau.

Saat laki-kai itu mengatakan kalau dia seharusnya tak membuang mereka, banyak pengandaian bermunculan di otak Yara. Pengandaian yang jika benar-benar bisa terwujud rasanya Yara akan bisa mati senang.

Karena artinya dia tak pernah mengalami apa yang dia alami dua tahun lebih kebelakang.

Dia tak perlu mengganti cintanya dari Helios ke Mahesa.

Laki-laki yang tak mencintainya balik.

Ngelirik aja enggak.

Mahesa hanya menyukai afeksinya. Selain itu rasanya cinta laki-laki itu susah digapai.

Atau sebenarnya pemikiran Yara salah?

Bagaimana jika Mahesa mencintainya? Dari awal?

"Mahesa, menurut lo kapan kita bisa bicara mengenai keadaan kita. Karena gue udah mulai jengah dengan apapun ini. Gue mau ada kejelasan"

Rasanya saat Yara berkata demikian ada palu besar yang memukul telak hati Mahesa. Dia yang awalnya masih mengantuk menjadi terjaga penuh.

"Aku gak mau pisah"

"Gue yang mau pisah"

Lalu hening, mereka bedua terjebak dengan pikiran masing-masing.

Setidaknya sampai suara Yara kembali terdengar.

"Sebenarnya apa yang mau lo pertahankan? Gue- kita dari awal cuman menikah karena permintaan bodong ayah lo-"

"Yara, stop" potong Mahesa. Sekarang masih sangat pagi untuk melakukan tarik urat.

"Mahesa, apa pernah terpikir di otak lo untuk membuat gue bahagia barang sedikit?"

"...."

"Enggak ya? Wajar sih, karena gue bukan apa-apa lo. Tapi gue mungkin bisa ngasih bocoran tentang apa yang sekiranya bisa membuat gue sedikit senang" tambah Yara.

Dengan raut wajah kelelahannya, Yara mencoba menarik senyum.

"Gue mau pisah. Kalau lo keberatan dengan annulment, divorce also sounds fine to me. Gue gak pilih-pilih kok. Asal kita bisa pisah, gue terima apapun pilihan lo"

Yara lalu memejamkan matanya. Menunggu respon Mahesa.

Yara yakin, lambat laun Mahesa akan kembali menggunakan otaknya. Laki-laki itu sudah hampir seratus persen kembali ke dirinya semula. Laki-laki itu menahannya karena tak ada yang ingin dekat dengan Mahesa yang sedang lumpuh selain dirinya.

Simpelnya, Mahesa memanfaatkan Yara.

Dan sekarang manfaat Yara sudah tak terlalu terasa untuk Mahesa. Laki-laki itu sudah hampir berjalan dengan normal. Maka seharusnya Mahesa membuangnya.

Seperti yang sudah-sudah.

"Yara"

"Hm?"

"Can we start over? Semuanya. Aku tahu kesalahan ku banyak banget sampai kamu selalu berpikir untuk menjauh dari aku. Tapi aku gak mau. I love you-"

"Stop saying nonsense, Mahesa. Lo gak cinta gue-

"Aku cinta kamu. Dan kamu gak bisa menilai perasaan aku terhadap kamu, Yara. Yang tahu perasaan aku adalah aku"

Mahesa mengambil tangan Yara untuk digenggam dan dikecup lumayan lama.

"Jadi, please, kasih aku kesempatan untuk memulai semuanya dari awal. Aku minta maaf atas semua yang terjadi tapi please, kasih aku kesempatan"

Dipagi buta itu, Mahesa menangis terisak.

Dan tangisnya hanya untuk Yara.

Ten Days OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang