XXIV

622 108 12
                                    

"Lama?"

"Enggak"

"Lama berarti"

"Lagian kamu juga terapi-"

"Emang gak bisa ya gak jadi pergi?"

"Gak bisa. Noel udah dibawah"

Setelah selesai memoles lipstiknya, Yara akhirnya berbalik dan mendekat ke arah Mahesa.

Selama dia kembali ke rumah ini, Mahesa memang melarang Yara untuk membawa Noel bahkan Citra ke kediaman mereka. Mahesa mengatakan dia benci aja perasaan dicurigai oleh keduanya. Yara akhirnya setuju aja dengan alasan agar Mahesa tak merasa tertekan dalam proses penyembuhan kakinya.

"Sini, aku bantuin pakai kaus kaki-"

"Tapi kamu pulang,kan?"

Yara diam namun tangannya dengan piawai memasangkan kaus kaki pada Mahesa. Dia juga memberikan sedikit rangsangan ditelapak kaki lelaki itu. Ingin mengetahui apakah ada kemajuan dari begitu banyak sesi terapi yang Mahesa terima.

"Kerasa gak?"

"Geli. Dikit"

Yara tersenyum. Yah, berarti terapi yang dijalani Mahesa dua bulan terakhir sudah lumayan ampuh dan mungkin Mahesa bisa memakai kruk secepatnya.

"Nah, udah!" Umum Yara setelah selesai dengan urusan kaus kakinya.

"Kamu pulang, kan?" Tanya Mahesa lagi. Dia harus memastikan jika Yara akan kembali padanya.

"Kita pindah ke kursi roda dulu. Sini, peluk"

Mahesa menghembuskan nafas. Dia sekarang lagi belajar sabar. Soalnya Yara gak suka dengan emosinya yang meletup-letup.

Mahesa akhirnya mengalungkan tangannya ke leher Yara, sedangkan Yara melingkarkan tangannya ke pinggang Mahesa. Perlahan namun pasti Yara membantu Mahesa untuk duduk nyaman di kursi rodanya.

Awalnya kegiatan ini tuh ngebuat Yara capek setengah mati. Soalnya Mahesa tentu lebih berat darinya. Tapi setelah dua bulan lebih melakukannya ngebuat Yara menjadi ahli.

"Udah nyaman? Mau diganjel cushion gak punggung-"

"Aku maunya kamu pulang"

"...."

Alasan kenapa Yara diam daritadi adalah karena dia tak punya jawaban yang pasti akan pertanyaan Mahesa. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, dia gak berharap juga Mahesa mengingat hal itu, Mahesa punya hal yang lebih penting untuk diingat.

Nah, masalah utamanya adalah Papahnya menginginkan dirinya untuk kembali ke kediaman Adysetia karena Papahnya secara khusus merayakan ulang tahunnya dan juga meminta Yara agar pulang secara utuh. Karena Papahnya dapat info jika keadaan Mahesa sudah mulai membaik dan laki-laki itu sudah tidak berusaha bunuh diri.

"Kalian sedang proses pisah. Gak seharusnya serumah. Gak etis"

Hal serupa juga diserukan teman-temannya apalagi si Nicole.

"Tinggalin. Dia masih punya keluarga kan? Ngapain lo ngurusin orang lumpuh. Nyusahin"

Hing....

Sesekali apa kita cabein aja ya mulutnya Nicole :)

Yara yang masih berjongkok menarik nafas terus menggenggam tangan Mahesa.

"Pagi sampai sore, kita masih bisa ketemu-"

"Kamu gak pulang?"

"Mahesa. Aku-mungkin kamu lupa kalau kita lagi proses-"

"Aku gak mau denger" potong Mahesa yang langsung melepas genggaman Yara dan memundurkan lalu memutar kursi rodanya agar bisa menjauh dari Yara.

Dia tak ingin mendengar perihal status mereka sekarang.

Mahesa rasanya bisa... gila.

Yara memejamkan matanya. Tidak hanya Mahesa yang menjadi gila, Yara pun juga demikian.

Dia seakan harus bisa menjaga perasaan orang-orang disekitarnya.

Maka bagaimana dengan perasaannya yang sudah hancur ?

Kenapa semua orang gak berpikir tentang dia?

Yara akhirnya gak berusaha melanjutkan pembicaraannya dengan Mahesa. Dia memilih untuk memberi waktu pada laki-laki itu. Dia harus segera ke bawah karena Noel menunggunya cukup lama.

"Hai!" Sapaan hangar Ezekiel yang tiba-tiba udah ada di dekat tangga membuat Yara tersenyum. Dia memang meminta Ezekiel hari ini untuk menemani Mahesa terapi.

"Hai juga, tolong ya?" Ucap Yara merujuk pada permintaannya untuk Ezekiel menemani Mahesa.

"Don't worry. Lagian gue yang harusnya gak enak sama lo. Thanks ya udah mau bantuin Mahesa" Balas Ezekiel yang disambut anggukan ringan.

"Gue buru-"

"Bentar. Nih, happy birthday, Nayarra. Maaf gue gak bisa ikutan-"

"Gue yang maaf. Papah gue... mungkin belum bisa menerima yang terjadi"

Setahu Yara para Pradikarsa gak ada yang diundang.

"Ya ngapain juga ngundang mereka, Yar. Puncak komedi namanya! Lo putus cinta jangan jadi pelawak dong Yar. Kagak lucu!"

Itu Winata yang ngomong, soalnya menurut Winata,.orangtua mana yang sanggup menerima kenyataan jika anaknya disakitin lahir batin sama orang lain?

"Ada sih. Orangtua gila"

Buset dah! Ini cewek dia yang nanya dia juga yang jawab. Mandiri amat.

"Gak apa-apa. Respon bokap lo itu lebih dari wajar. Hati-hati dijalan ya"

"Terimakasih Eji" kata Yara sebelum menjauh untuk menemui Noel yang sudah menunggunya.

....

"Kamu daritadi ngelamun mulu Papah lihat. Ada apa sayang? Coba cerita ke Papah"

Giovanne tuh selalu menjadi yang paling cepat tahu jika ada hal yang tak beres dengan sang anak. Mungkin karena dia mengasuh Yara sendirian dari putri kecilnya berusia satu hari hingga dewasa. Mereka cenderung punya ikatan batin yang kuat.

"Enggak. Aku kecapekan aja"

Oh, tentu saja itu bohong.

Dia sedang kepikiran tentang Mahesa. Tadi Ezekiel menelponnya dan mengatakan jika sepanjang sesi terapi, Mahesa hanya duduk di kursi rodanya tak berniat melalukan sesi terapi. Dia juga menjadi sangat pendiam. Dan yang lebih anehnya lagi, Mahesa meminta untuk digotong ke lantai atas agar bisa tidur di kamar miliknya.

"Dia juga nolak makan dan minum obat. Tapi gak perlu khawatir, nanti gue cekokin kalau masih batu orangnya"

"Reynald itu orang yang baik tapi licik, Papah juga bingung dengan deskripsi Papah buat dia. Tapi ya, yang namanya manusia tuh gak ada yang benar-benar putih atau benar-benar hitam. Kita selalu berada diantara keduanya"

"...."

"Apapun yang sekarang kamu rasakan dan pikirkan adalah hasil dari manipulasi Reynald. Dia dengan mudah bisa menguasai kamu lewat emosi kamu yang lagi gak stabil dan kecenderungan kamu yang suka menolong. Menolong itu hal yang baik, sayang. Tapi kita gak selalu harus menolong, karena bagaimana dengan kita? Atau dalam situasi kamu, siapa yang bisa menolong kamu? Reynald? Mahesa? Mereka yang mau menenggelamkan kamu malah"

Giovanne menatap sang putri lalu menarik Yara ke dalam pelukan hangat.

"Tolong papah ya? Untuk menolong kamu. Papah sudah gak sanggup melihat kamu harus ke Psikiater dan minum obat-obatan itu. Papah gak bisa" Tambah Giovanne yang tak bisa menahan tangisnya saat mengingat jika putrinya sekarang harus dibantu dengan obat jika bisa ingin tertidur nyenyak tanpa perlu terbangun tengah malam dengan peluh bercucuran.

Yara memeluk Papah-nya erat lalu memejamkan matanya.

Rasanya capek.

Rasanya dia ingin beristirahat.

Ten Days OperationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang