Malam ini waktu sudah menunjukan pukul 8 lebih 10 menit. Terlihat di kamar si bungsu Nataprawira ada Gibran dan Nadine yang menjaga sang anak sejak insiden pingsan tadi sore. Gibran pun langsung menelpon dokter Arlen dan tak lama sang dokter pun datang lalu tanpa menunggu lama lagi dokter Arlen langsung memeriksa kondisi Orion. Jadilah kini si bungsu yang menggemaskan harus tertidur dengan selang oksigen yang terpasang di hidung mancungnya, lengan putih nan kurusnya lagi lagi harus di khiasi dengan selang infus, jari telunjuknya yang lentik pun harus di apit oleh oxymeter, serta dadanya harus di pasangi oleh beberapa kabel yang terhubung dengan alat EKG. Kini kamar Orion terlihat sangat mirip dengan kamar rawatnya di rumah sakit.
Setelah kekacauan yang terjadi tadi sore, seluruh keluarga Nataprawira lebih memilih untuk berdiam diri di kamarnya masing-masing, tak ada makan malam seperti biasanya, bahkan Nadine tak sedikit pun melangkahkan kakinya keluar dari kamar si bungsu.
Lalu kemana perginya mas Aka, mbak Ale, abang Kavin dan kakak Zayn? Mereka juga ada di kamarnya masing-masing, itu pun Gibran harus membujuk ke-empat anak lainnya dengan susah payah agar mau beristirahat di kamar mereka. Awalnya Alaska, Aletta, Kavin dan Zayn kekeuh untuk tetap berada di kamar si bungsu, tapi Gibran rasa saat ini bukan waktu yang tepat untuk mereka berkumpul bersama, terlebih lagi raut lelah terlihat jelas di wajah anak-anak dan Nadine nampaknya masih mendiami ke-empat anaknya terutama Alaska dan Zayn mengingat tadi sore mereka berdua meninggalkan Orion di mall.
"Hah.." Gibran menghembuskan napas lelah. Sudah sekitar 3 jam ia berdiam diri di kamar sang anak bungsu bersama sang istri, namun Nadine masih saja bungkam. Bahkan duduk saja mereka berjauhan, Nadine yang memilih untuk duduk di ranjang bersama sang anak, sedangkan Gibran duduk di sofa.
"Nadine," panggil Gibran mencoba untuk memecah keheningan di antara mereka.
"..." namun sayangnya Nadine masih diam.
"Kita perlu bicara," lanjutnya.
"Apalagi yang harus di bicarakan?" tanya Nadine pada akhirnya, membuat senyum cerah kembali terlihat di wajah Gibran.
"Banyak Nadine," jawab Gibran.
"Yaudah langsung aja."
"Jangan disini, sayang."
"Terus mau dimana? Aku ga mau ninggalin anak aku sendirian," ucap Nadine penuh penekanan.
"Orion juga anak aku lho Nadine," sahut Gibran.
"Ohya? Kamu ayah nya emang?" tanya Nadine seraya tersenyum sinis.
"Oke kita lanjutin ngobrolnya di balkon aja ya, jangan disini adek lagi istirahat," jawab Gibran.
"Itu kamu tau adek lagi istirahat, kamu jangan banyak ngomong, Gibran! Kalau anak aku bangun gimana?!" cecar Nadine membuat Gibran menghela napas lelah.
"Sayang please.."
"Oke fine!"
Mendengar itu Gibran pun tersenyum tulus pada sang istri. Lantas, Nadine beranjak dari duduknya dengan perlahan karena tak ingin menganggu si bungsu lalu melangkahkan tungkainya menuju balkon, diikuti oleh Gibran.
"Nadine," panggil Gibran lembut.
"Hm."
"Jangan pergi ya? Bilang sama aku kalau yang tadi itu cuma kebawa emosi aja, kamu ga akan bawa Orion pergi 'kan?" ucap Gibran seraya menggenggam tangan sang istri dengan erat.
"Aku serius Gibran, aku akan bawa Orion pergi dari sini," sahut Nadine tanpa menatap sang suami.
"Nadine please, jangan pergi ya, kita–"