Malam ini seluruh anggota keluarga Nataprawira sudah berkumpul di ruang keluarga, ah tidak bukan semua tetapi hanya orang-orang dewasa yang di perbolehkan ikut dalam perkumpulan ini. Terlihat ada Gibran yang sedang menatap tajam nan penuh amarah pada adik bungsunya dengan Nadine yang duduk di sampingnya seraya mengusap punggung Gibran agar sang suami tenang dan emosinya tidak meledak-ledak. Lalu ada Sammy yang duduk dalam diam bersama sang istri di sofa yang lain, sedangkan eyang Ratih duduk di dekat putra bungsu kesayangannya yang kini tengah menundukan kepalanya.
Lalu kemana perginya cucu-cucu Nataprawira? Mereka sedang berada di kamar masing-masing dan tidak diizinkan keluar oleh para orang dewasa yang saat ini mungkin tengah berdebat di ruang keluarga.
"Jelasin! Kamu kemana aja selama ini?!" ucap Gibran memecah keheningan.
"M-maaf mas," lirih Arsen, sang adik bungsu.
"Bukan maaf yang mau mas denger Arsen! Pukulan tadi masih kurang ha?!" Gibran mulai meninggi kan nada bicaranya.
"Gibran udah dong nak, adek kamu baru pulang setelah pergi selama belasan tahun, tolong jangan di pukul lagi," sahut eyang Ratih melindungi putra bungsunya.
Yah, saat Gibran pulang dari kantor tadi dan melihat ada presensi adik bungsu yang telah menghilang selama belasan tahun tiba-tiba ada di rumahnya, tanpa banyak bicara Gibran langsung melayangkan satu pukulan telak tepat pada wajah tampan sang adik bungsu.
"Gak bisa mi! Anak ga tau diri kaya dia emang harus di kerasin!" Gibran masih saja meninggikan nada bicaranya.
"Gibran, kamu tenang dulu dong, biar Arsen jelasin perlahan, kamu nya jangan emosi dulu, sabar Gibran," ucap Nadine mencoba menenangkan sang suami.
"Aku ga bisa kalau ga emosi! Dia, si anak bungsu Nataprawira udah pergi selama 17 tahun lamanya!" sahut Gibran membuat sang adik bungsu semakin menunduk takut.
Sammy yang melihat hal itu pun tak bisa hanya duduk dan diam saja, ia pun lantas mengeluarkan suaranya, "mas Gibran, aku tau, aku ngerti banget perasaan mas sekarang gimana. Tapi aku mohon mas jangan emosi, kita bicarakan semua ini baik-baik. Kita dengerin dulu penjelasan Arsen ya mas," ucap Sammy.
Gibran memejamkan kedua matanya lalu menghembuskan napasnya dengan kasar, "oke fine, jelasin semuanya sekarang, Arsen!"
"Tenang ya Gib," ujar Nadine pelan namun penuh kelembutan seraya mengusap punggung sang suami yang kini sudah jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Arsen nampak menarik napas perlahan, lalu menatap eyang Ratih, Gibran, Nadine, Sammy dan Alice bergantian.
"Selama ini aku tinggal di Seoul," Arsen yang sejak awal lebih banyak diam pun kembali mengeluarkan suaranya membuat kelima orang dewasa yang ada di sana menatapnya penuh tanya.
"Apa?! Kamu ngapain disana, Sen? Kamu kenapa ga pernah hubungin mami, mas Gibran atau kak Sammy? Kita bisa aja nyusulin kamu kesana nak," ucap eyang Ratih dengan tatapan kecewanya.
"Maaf mi maaf, bukannya Arsen mau kabur atau jadi anak durhaka buat mami, tapi emang papi udah mempersiapkan semua ini dari Arsen lulus SMA, ini juga bukan kemauan Arsen," sahut Arsen.
"Maksud kamu gimana? Mbak kurang paham Sen," timpal Nadine.
"Oke jadi gini, setelah aku lulus SMA papi memang udah berencana buat kuliahin aku ke luar negri sama kaya mas Gibran dan kak Sammy, aku yang tau itu awalnya nolak, aku udah niat buat kabur dari rumah tapi papi berhasil nemuin aku, tanpa nunggu lama lagi papi langsung bawa aku ke luar negri," jelas Arsen.
"Dan kamu nurut? Bukannya kamu bisa nolak? Kamu bisa telpon mas atau kakak 'kan?" cecar Gibran.
"Aku ga bisa nolak karena ada something happen ya ga bisa aku jelasin sama kalian dan itu juga yang buat aku akhirnya lebih memilih untuk ke Seoul, ada seseorang yang harus aku cari, selain itu aku juga ingin memperbaiki diri disana, menjadi lebih baik lagi."