Pagi ini seluruh keluarga Nataprawira sudah berkumpul di area ruang makan untuk melakukan ritual wajib mereka setiap pagi hari sebelum berangkat untuk melakukan kegiatan masing-masing, ya apalagi ritual tersebut kalau bukan sarapan. Terlihat Gibran sebagai sang kepala suku pun sudah duduk di kursi yang ia biasa duduki, begitu juga dengan sang istri, eyang Ratih dan anak-anaknya. Namun ternyata, masih ada satu kursi yang masih kosong tepat di samping si bungsu Rigel dan di dekat si sulung Alaska.
"Semua makanan nya sudah siap tuan," ucap sang maid pada Gibran yang baru selesai menata makanan di meja makan.
"Terimakasih," sang tuan rumah mengangguk dan tak lupa mengucapkan terimakasih pada sang maid.
Setelah itu pun para maid yang bertanggung jawab atas area dapur dan ruang makan pun berlalu ke area belakang mempersilahkan para tuan dan nyonya nya untuk makan.
"Yuk kita mulai sarapannya," ucap eyang Ratih tersenyum pada anak, menantu dan cucu-cucunya, ah kecuali pada Rigel.
"Bentar eyang, Ori– eh maksudnya kak Rion belum turun, kakak masih di kamar," sahut Rigel dengan tatapan dingin dan datarnya, sama percis seperti sang kakak sulung.
"Iya mih Rigel bener, kita tunggu Orion sebentar ya," timpal Gibran.
Eyang Ratih yang mendengar pun mendelik tak suka seraya berdecak, "ck, anak itu kebiasaan sekali suka membuat orang menunggu, ga ada sopan santunnya!" gerutu sang eyang.
"Biar Rigel susul kakak dulu, ayah, ibu, mas, mbak, abang dan kakak makan duluan aja," ucap Rigel seraya beranjak dari duduknya.
Eyang Ratih kembali berdecak saat namanya tak di sebutkan oleh Rigel tadi, "ya maklum sih, namanya juga anak kembar, kalau kakak nya ga punya sopan santun ya adiknya juga sama jadi ga ada bedanya."
Rigel mengerti bahwa ucapan sang eyang adalah sindiran untuknya langsung menyahut, "iya maksudnya eyang juga kalau mau makan ya makan duluan aja, eyang kan udah tua ga boleh telat makan nanti sakit, cepet eyang makan dulu yang banyak abisin aja gapapa udah tua emang butuh energi yang banyak."
Sontak Kavin dan Zayn yang mendengar pun tertawa pelan, bahkan senyum tipis juga terlihat di wajah Alaska.
"Adek," tegur Nadine pada si bungsu, begitu juga dengan Gibran yang menggelenglan kepalanya tanda bahwa Rigel tak boleh seperti itu pada orang tua, terlebih ini eyang Ratih, neneknya sendiri, ibu dari Gibran.
"Udah ah Rigel susul Orio– maksudnya kakak, Rigel susul kakak dulu ke kamar."
Setelah mendapat anggukan setuju dari sang ayah dan juga snag ibu, Rigel lantas melanglahkan tungkainya keluar dari ruang makan untuk menuju lift. Sesampainya di depan lift, baru saja Rigel akan menekan tombol lift tersebut namun hal itu tak jadi ia lakukan saat kedua netranya menangkap sosok sang kakak kembar yang tengah berlari kecil menuruni tangga.
"Heh Orion!" seru Rigel seraya berjalan cepat menghampiri sang kakak yang kini sudah menghentikan langkahnya tepat di ujung tangga terakhir saat Rigel memanggilnya.
"Eh adek? Adek mau kemana?"
"Lo ngapain sih turun ke bawah pake lewat tangga segala? Kenapa ga pake lift? Lo pikir ayah buat lift di rumah ini cuma buat jadi pajangan?!" bukannya menjawab Rigel malah mengomel membuat sang kakak kembar yang tak lain adalah Orion pun mengernyit heran.
"Y-ya gapapa Rion mau aja turun lewat tangga, sekalian olahraga juga, kan kata dokter Arken Rion harus olahrga meskipun sedikit sedikit, naik atau turun lewat tangga termasuk olahraga juga kan? Hehe," Orion menyahut dengan polosnya.
"Iya tapi lo malah lari-lari, kalau jatuh gimana ha?"
"Ih adek kenapa sih? Bawel banget biasanya juga banyak diem melebihi mas Aka dan om Samudra," Orion yang mendapat omelan dari sang adik pun mengerucutkan bibirnya lucu sekali.