21

26.6K 1.3K 21
                                    


"Gila ini beneran Raline sahabat gue?" wanita dengan potongan rambut sebahu itu terharu, menepuk-nepuk pipi Raline dengan tatapan tidak percaya.

"Lebay, tapi gue kangen banget sama lo!" Raline memeluk erat sahabatnya di depannya ini, mereka memang sudah lama sekali tidak bertemu.

"Lo sih selalu sibuk, pembukaan butik gue aja lo gak datang marah nih gue" Raline terkekeh mendengarnya, jujur waktu itu dia masih kalang kabut sama perjodohan yang telah diatur orang tuanya jadi tidak sempat untuk datang ke Jogja.

"Sorry Yan, lo tau sendiri waktu itu gue lagi apa. Tapi semenjak lo memutuskan pindah ke Jogja gue malah semakin kesepian tau gak sih, Mbak Dea juga udah kerja di kantoran mana bisa di ganggu"

Dian--- sahabatnya Raline itu tersenyum mendengarnya. "Makanya pindah Jogja sini, lo juga tau Jogja itu impian gue dari dulu nyaman banget disini mah. Btw masuk ruangan gue aja biar nyaman ngobrolnya"

Raline mengangguk mengikuti arah Dian untuk masuk keruangan yang dimaksud. "Gue juga mau kali di Jogja, tapi kan suami gue kerjanya di Jakarta Yan"

"Gue sampai lupa kalau lo udah punya suami, gimana hubungan perjodohan? Enak?"

Raline mendengus. "Enak gak enak ya di jalanin aja deh, lo sendiri gimana sama yang kemarin?" Keduanya lanjut mengobrol berbagai hal.

******

"Selamat ya Pak atas pernikahannya dengan Bu Raline, semoga segera di beri momongan" ucap Toni-- seorang petinggi di perusahaan milik Argan.

Argan tersenyum menjabat tangan pria paruh baya itu. "Terimakasih Pak untuk doa baiknya"

"Kado dari saya tiket liburan ke Paris mau gak Pak?" tawar Toni menepuk pundak Argan.

Argan sampai terkejut mendengarnya. "Eh? Gak usah Pak, kebetulan saya sama istri masih sibuk. Ini juga ke Jogja niatnya mau honeymoon pak, honeymoon yang tertunda"

Toni terkekeh mendengarnya. "Wah begitu ya Pak, baiklah mau kado apa dong dari saya? Bingung mau kasih apa pasti Pak Argan udah punya semua"

"Bisa aja Pak, saya minta doa yang terbaik aja ya Pak" jawab Argan tidak enak.

"Kalau doa ya sudah pasti Pak Argan, kamu ini udah saya anggap anak sendiri loh. Nanti lah saya kirimin barang ya"

Argan manggut-manggut mengiyakan. "Baik Pak, terimakasih banyak untuk waktunya saya permisi dulu ya Pak" Toni mengiyakan lalu mereka berjabat tangan, keduanya berjalan berlawanan arah.

"Rafa mana ponsel saya" teriak Argan saat sudah sampai di mobilnya.

Rafael dengan sigap langsung saja mengambil ponsel atasannya yang dia bawa saat meeting tadi.

Argan langsung menerima dan segera menelpon Pak Agus.

"Assalamualaikum Pak?"

"Waalaikumsalam Mas, kenapa?"

"Bapak lagi dimana ya? Sama istri saya kan ya?" tanyanya sangat menggebu-gebu.

"Iya toh Mas, Mbak Raline lagi di butik ketemu temen lama katanya Mas. Ini saya nunggu di restoran sampingnya tadi di suruh Mbak Raline makan dulu. Baik banget loh Mas istrinya, pinter banget cari istri kamu Mas" Argan menghela nafasnya lega mendengarnya.

"Baik Pak terimakasih ya, saya masih ada meeting lagi ini Pak. Pelan-pelan aja ya Pak bawa mobilnya. Saya tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum" belum sempat Agus menjawab panggilan telepon sudah diputus sepihak oleh Argan.

"Setelah meeting ada agenda apalagi Raf?" tanya Argan menatap asistennya yang tampak sibuk mengotak-atik ipad.

"Gak ada agenda lagi Pak setelah ini Pak Argan sudah free"

Argan mengangguk. "Kita mampir dulu ya Raf, saya butuh kopi" semalam Argan memilih tidak tidur dan terus memandangi wajah istrinya, jadi yah sekarang dirinya sedikit merasa pusing.

"Baik Pak, itu di depan ada kedai kita mampir?"

"Ya, terserah kamu, saya butuh yang americano" lalu dengan cekatan Rafa turun dari mobil, berjalan ke arah kedai yang dia tunjuk tadi.

Argan mengedarkan pandangannya dan terpaku pada sesosok wanita yang sangat dia kenal dahulu sedang menggandeng tangan anak kecil? Wanita itu tampak sederhana dengan menggunakan daster panjang serta rambutnya yang hitam sepunggung di kuncir, tampak kurus tapi senyum itu, sial senyum yang Argan rindukan bertahun-tahun.

Argan benar-benar ingin menemuinya kali ini, ingin rasanya dirinya bertanya kabar, tapi dirinya langsung tertampar saat wanita itu berjongkok menghadap gadis kecil yang digandengnya lalu seperti sedang membujuk, gadis kecil itu tersenyum mengangguk-angguk kepalanya yang di kuncir dua. Apa-apaan? Wanita itu pasti sudah bersuami dan hidup bahagia, tapi entah kenapa Argan merasa hatinya sangat sakit mengetahui fakta itu. Bertahun-tahun berlalu dan saat ini dirinya belum siap padahal Bundanya sudah memberikan kabar itu dulu, Argan mengepalkan tangannya.

"Pak, ini kopinya sesuai pesanan ya Pak" Argan menoleh menatap tajam ke arah Rafael yang tidak tau apa-apa.

"Kenapa Pak?" tanya Rafael hati-hati, dia sudah sangat hafal dengan mimik wajah seperti itu.

"Bentar saya mau beli sendiri kopinya, minggir kamu saya mau keluar" ucapnya sangat ketus membuat Rafael geleng-geleng kepala melihatnya.

Argan berjalan cepat, matanya masih mengawasi wanita itu, yang tampak menunggu angkutan umum? Sial dimana suaminya? Tega sekali membiarkan anak dan istrinya berdesakan di angkutan umum.

Saat sudah dekat tanpa sengaja keduanya saling menatap, Argan benar-benar ingin mengumpat bagaimana bisa dia ketahuan begini.

"Mas Argan?!" Wanita itu berteriak seperti sengaja memanggilnya dengan keras, mau tak mau Argan akhirnya memberanikan diri untuk sekedar menyapa.

"Vania?" ucap Argan pelan, melihat keduanya dengan tatapan tidak bisa diartikan. Setelah dua belas tahun mereka tidak pernah bertemu, kini keduanya sama-sama seperti terpaku menatap satu sama lain.

"Mas Argan beneran? Aku tadi kira cuma salah lihat loh, gimana kabarnya Mas?" suaranya masih sama, sangat lembut.

"Alhamdulillah aku baik, kamu sendiri? Ini siapa cantik sekali? Anak kamu?" Argan berjongkok menatap dengan intens gadis kecil yang matanya sangat mirip dengan Vania.

"Baik juga kok Mas, iya ini anakku namanya Vanya. Vanya salim dulu sama temannya Ibu ya, namanya Om Argan" Vanya tampak menurut, mencium tangan besar Argan dengan hati-hati. Beneran Argan merasa hatinya teriris melihat ini semua.

"Kamu kenapa disini? Nunggu suami?" kini Argan sudah berdiri menatap intens Vania yang tampak gugup.

"Gak Mas, lagi nunggu angkot biasanya udah lewat gak tau kenapa belum lewat-lewat" jawabnya jujur.

"Mau bareng aku aja? Kayaknya masih lama loh angkotnya?" tawarnya tanpa ragu.

"Gak apa Mas? Takut ngerepotin kamu Mas, anakku takutnya rewel"

"Gak apa, aku udah biasa kok. Ayo aku anterin dulu. Disana mobil aku" lalu ketiganya berjalan kearah mobil yang ditunjuk Argan.

"Rafael, kamu turun aja cari taksi saya ada urusan. Langsung ke kantor aja habis ini" dan Rafael terbengong mendengarnya.

******
Yang mau omelin Argan di persilahkan

Melt Your Heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang