Aslan | 35

4K 256 131
                                    

𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰

     "Ampun.. G-gue lakuin itu karena nggak sengaja.. Gue minta maaf, please.. Jangan bunuh gue.." Gadis itu menangis histeris sembari berlutut dengan tangan yang menyatu, dia merangkak dan langsung memeluk kaki pria di depannya. "Please.. Please.. Jangan bunuh gue," ulangnya.

      Nero terkekeh pelan dan menendang gadis itu dengan kasar. Ia berjongkok, "Mau gue bebasin nggak?"

     Tanpa berfikir panjang, gadis itu mengangguk-angguk cepat. Dalam seperkian detik, ekspresi Nero berubah, ia menatap datar gadis di bawahnya lalu berdiri tegak.

     "Serahin diri lo."

     Mata gadis itu membulat, bibirnya bergetar, matanya bergerak kesana kemari, tubuhnya semakin lemas, memikirkan bayangan kejadian itu yang mulai menghantui dirinya. Gelisah, dia merasa takut hingga bingung harus menjawab karena pilihan ini terasa sulit baginya.

      "Nggak mau? Ya udah, nikmatin aja hidup lo disini." Nero bergerak mundur dan berbalik namun belum sempat menyentuh knop pintu, sebuah sahutan membuat dirinya berhenti sesaat.

      "Oke."

      Nero berbalik dan tersenyum penuh kemenangan. "Pilihan yang bagus, selamat menikmati hidup di penjara, sayang." ujarnya sebelum tertawa puas dan menghilang dari balik pintu.

      Tangis gadis itu kembali pecah. Rencananya berbulan-bulan, semua yang ia lakukan sejauh ini, gagal hanya dalam semalam, semua ini terjadi semenjak kedatangan Shean. Ia mengepalkan tangan dengan tatapan yang perlahan berubah, murka dan penuh kebencian yang mendalam. Pembawa sial, batinnya.

***

     Sepanjang hari kegiatan Shean hanya berbaring di ranjang, meringkuk di dalam selimut dengan gelisah. Dia merasa tak tenang karena Aslan. Pria itu mengatakan bahwa Ghea sudah mati dan Shean pun mencari tahu hal tersebut melalui ponselnya. Namun, apa yang dikatakan Aslan benar.

      Berita kematian Ghea sudah menyebar luas di kalangan sekolah. Shean tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya, melihat Ghea yang sudah ia anggap temannya harus mati secara mengenaskan. Lagi-lagi air mata kembali mengucur. Shean terisak.

      Ini semua terasa tak nyata.

      Harusnya ia tak pindah kemari, harusnya dia menetap saja di California.

      Penyesalan. Shean baru merasakan hal itu.

       Suara ketokan pintu memecah kegundahan Shean, dia menghela nafas panjang. Pasti itu Jenna.

      "Shean, ini mama, makan dulu ya kamu belum ada makan dari pagi Shean!" Suara teriakan Jenna kembali menggema disertai ketokan-ketokan kecil.

       Shean semakin mengeratkan selimut yang membungkusnya, menulikan pendengarannya.

       Hari memang sudah sore dan Shean pun belum ada melahap sepeser nasipun, untuk bergerak saja Shean tak mau apalagi dirinya harus makan. Sehabis melihat keadaan Ghea malam itu, Shean jadi tak bernafsu untuk sekedar minum atau makan.

       "Shean, mama taro di depan kamar, nanti dimakan ya.." ujar Jenna, yang lagi tak dihiraukan oleh Shean.

      Jenna menghela nafas panjang, lalu meletakkan nampan di depan kamar Shean. Wanita itu beralih mengambil nampan lainnya lalu beranjak pergi. Setelah mencuci nampan yang tidak tersentuh lainnya, Jenna kembali ke sofa. Menghempaskan diri ke sana.

ASLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang