Kegiatan pemakaman sang Ibu akan dilaksanakan di kota bandung sesuai dengan permintaan Dewa. Sedangkan Nattaniel, Winata dan juga Bara hanya menatap kepergian Dewa dan Nandra bersamaan dengan mobil ambulans berisikan jenazah. Suara sirine itu terlalu memekakkan telinga membuat Dewa sesekali memejamkan mata."Dew..." Panggil Nandra.
Dewa yang memang duduk disebelah Nandra hanya melirik dalam diam. Kedua mata pria jangkung itu begitu merah dan berkaca-kaca seakan menahan seluruh emosi serta kesedihan yang ia rasakan.
"Jangan gini. Lo boleh nangis, gak usah lo tahan-tahan. Di bumi ini gak ada manusia yang baik-baik aja setelah ditinggalkan." Nandra mengubah posisi duduknya menjadi sangat tegap untuk menyamakan posturnya dengan Dewa.
"Sini. Lo boleh nangis, lo boleh pinjem bahu gue buat numpahin semuanya. Jangan lo tahan kayak gini," ucap Nandra seraya menarik pelan tubuh Dewa ke pelukannya.
Awalnya Dewa terdiam dan hanya menuruti apa yang Nandra perintahkan. Namun, usapan tangan Nandra di punggungnya membuat Dewa semakin merasa sesak, semua ini begitu tiba-tiba baginya, ia kehilangan orang yang paling penting dan istimewa didalam hidupnya. Dewa tidak tahu apakah ia bisa bertahan setelah ini?
Karena sang Ibu adalah alasan Dewa untuk tetap hidup.
"Nan... Gue harus apa," tanya Dewa disela isakannya yang semakin keras di setiap detiknya.
Sebelah tangan Nandra terangkat untuk mengelus pelan tengkuk pria jangkung itu, "Lo harus tetep hidup tentunya, Dew."
Isak tangis Dewa semakin terdengar pilu. Nandra hanya diam memberikan waktu untuk Dewa menumpahkan segala perasaan sesaknya, karena Nandra tentu mengerti bahwa ditinggalkan seseorang adalah suatu hal yang sangat mengerikan dalam hidup.
Hampir satu jam lamanya Dewa terisak di pelukan Nandra sampai akhirnya pria jangkung itu tertidur lelap. Gerakan halus beberapa kali Nandra lakukan karena tubuhnya terasa kebas dan pegal, namun Nandra tidak sampai hati untuk membangunkan Dewa yang mendengur halus di sela sendatan nafasnya.
"Kasihan Nak Dewa," ucap sang sopir yang merupakan salah satu tetangga dekat keluarga Dewa.
Nandra mengangguk, "Iya, Pak."
Mobil itu terus melaju kencang diiringi dengan suara sirine ambulans didepan sana. Sebetulnya saat pemberangkatan tadi, Nandra sempat menyuruh Dewa untuk menaiki ambulans bersama Ibunya. Namun Dewa menolak dan lebih memilih untuk menaiki mobil pribadi milik sang tetangga yang bermurah hati untuk ikut mengantar. Padahal jarak antara jakarta-bandung tidak sedekat itu.
Tubuh Dewa sedikit berjengit dalam tidurnya, entah apa yang sedang dimimpikan pria itu.
"Ssshhh"
Dengan tenang, Nandra menepuk-nepuk lengan Dewa yang tak sengaja melingkar pada perutnya. Untuk saat ini Nandra hanya berharap agar Dewa baik-baik saja.
°°°
Pemakaman tersebut berjalan dengan lancar, semua orang yang mengantar pun sudah berpamitan untuk pulang. Jenazah di semayamkan dengan iringan isak tangis dari sanak saudara, terkecuali Dewa yang menatap tanah kubur itu dengan hampa. Tanpa isakan. Tanpa suara.
"Dewa. Yang sabar ya, nak. Kamu mah anak baik, anak yang kuat. Kamu tinggal disini aja ya sama bibi?"
Dewa menatap lurus seorang wanita yang ternyata adalah adik dari sang Ibu, "Makasih. Bi," jawab Dewa seadanya. Pria jangkung itu kemudian menabur bunga dengan wajah yang sangat murung, sedangkan Nandra hanya berdiam diri memperhatikan segala gerak gerik Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malchance (MileApo local) ✔️
FanfictionHanya bercerita tentang kehidupan Nattaniel Mahawira yang tiba-tiba harus terikat dengan pria tampan rendah hati bernama Milen Sambara. + Non Baku (Karna aku buat ini lokal) + Homo. Yang homophobic puter balik