Bad Side (Bonus)

5.6K 164 2
                                    

Prisa.

Tidak pernah terbesit dalam pikiranku akan mendapat pengakuan cinta dari Jevano. Berkhayal Jevano mencintaiku saja aku tidak pernah saking aku menganggapnya itu tidak mungkin terjadi.

Tapi buktinya Jevano mengatakan itu. Mengucap sesuatu yang aku kira mustahil terjadi.

Duka yang menyelimutiku selama dua minggu ini akibat kematian ibu sejenak teralihkan oleh keterkejutan yang teramat sangat akibat pengakuan cinta Jevano yang terkesan tiba-tiba.

Aku tidak merespons apa pun. Terlalu terkejut. Terlalu bingung.

Jevano juga tidak menuntut jawaban apa pun sepertinya. Setelah mengatakan itu dia hanya bilang, "jangan pergi. Tetap di sini sama aku."

Jevano memilih waktu yang tepat. Karena aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi sekarang. Jadi pengakuan cinta Jevano seperti sebuah sinar di tengah-tengah kegelapan yang mengurungku. Entah itu benar-benar cahaya atau justru jenis gelap lainnya yang akan semakin memerangkapku.

Jevano memang memiliki temperamen yang buruk kepadaku. Dia seenaknya. Menguasai hidupku. Tapi aku harus jujur di beberapa kesempatan Jevano bisa bersikap lembut, manis, perhatian membuatku terlena akan pesonanya.

Aku juga pernah bilang, kan, bahwa aku pernah menyukainya. Tapi sekarang setelah mengetahui sisinya yang lain itu, apakah aku masih mencintainya? Aku tidak tahu.

Aku butuh waktu untuk menyelami perasaanku yang sesungguhnya terhadap dia.

Jevano tidak menuntutku untuk memberi jawaban secepatnya. Lagi pula tanpa aku memberikan jawaban pun hidupku sudah sepenuhnya milik dia. Tidak ada lagi yang tersisa dalam diriku. Aku sudah tidak punya apa-apa. Keperawanan. Keluarga. Secara tidak langsung aku memang hanya mempunyai Jevano saja.

Aku sedang menuangkan nasi goreng ke atas piring ketika lengan kokoh milik Jevano tiba-tiba melingkar di perutku. Dia mencium belakang leher sebelum menyusupkan wajahnya di ceruk leherku.

Aku sedikit berjengit geli merasakan hawa napasnya yang hangat menerpa kulitku.

Aku menggerakkan pundak memberikan dia isyarat agar menyingkir sejenak dari tubuhku. Aku akan membawa dua piring nasi goreng yang sudah kusiapkan ini ke meja.

Tapi yang Jevano lakukan justru semakin mengeratkan pelukannya.

"Kamu nggak mau sarapan?" decakku.

Dia bergumam-gumam tidak jelas. Mendusel-duselkan wajahnya di ceruk leherku dan memberikan kecupan-kecupan ringan di sana. "Sudah beres, kan?" tanyanya, masih menaburkan kecupan-kecupan di leherku.

Aku tahu maksud pertanyaan Jevano.

"Belum."

Jevano berdecak. "Jangan bohong. Ini sudah lebih satu hari dari jadwal selesai kamu menstruasi."

Sudah tahu Jevano tidak bisa dibohongi. Aku masih saja nekat untuk membohonginya.

"Tapi jangan sekarang. Kita sarapan dulu." Aku mencoba menegosiasi.

"Sarapan kamu aja."

Aku memutar bola mata jengah. "Aku ada kelas nanti jam tujuh."

"Apalagi begitu. Lebih baik sekarang aja." Tangannya akan merambat naik membuat aku spontan menahannya untuk tidak menyentuh apa yang ingin dia sentuh.

"Kamu nggak bisa apa sekali aja dengerin aku? Kabulin permohonan aku sekali aja. Nggak susah kayaknya."

Jevano menjauhkan kepalanya dari leherku. Yang sejurus kemudian aku terkesiap karena Jevano membalikkan badanku cepat. Kami berhadapan sekarang.

Lust of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang