4. Affair with Boss (M)

5.8K 134 2
                                    

Alana memandangi ponselnya dengan gamang.

Ada pesan masuk dari Arkana yang menyuruh dia untuk datang ke apartemennya. Dan sudah lima menit berlalu Alana mengabaikan pesan tersebut tanpa membalasnya.

Padahal Arkana baru meminta jatah lagi setelah seminggu lebih tidak mengusik Alana sama sekali. Alana awalnya heran. Tumben sekali. Tapi sekarang dia sudah tidak heran lagi karena ternyata beberapa hari ke belakang Arkana sibuk mempersiapkan pernikahannya.

Alana hanya mendengar kabar yang beredar dari anak-anak kantor yang mengatakan Arkana mempercepat pernikahan. Arkana sama sekali tidak bercerita. Ya mungkin buat apa bercerita? Mereka tidak sedekat itu untuk saling curhat. 

Alana?

Pesan dari Arkana kembali datang. Disusul dengan satu pesan yang lain.

Kenapa pesan saya hanya dibaca?

Alana mengigit bibir. Mulai mengetikkan balasan.

Maaf, Pak. Saya  sedang kedatangan teman. Mau nginap di sini.

Setelah itu Alana menyimpan ponsel dan mengubahnya menjadi mode jangan ganggu.

Alana berbaring, menarik selimut sampai dada. Dia mulai memejamkan mata meskipun pikirannya riuh sekali.

Alana tahu ini semua salah. Tidak seharusnya dia menyimpan rasa kepada Arkana. Seharusnya dia tetap pada berada di batasnya. Entah sejak kapan dia mulai memiliki ketertarikan lebih kepada Arkana.

Tidak bisa dipungkiri Arkana memiliki pesona besar yang sulit ditolak oleh wanita mana pun. Arkana memang mempunyai wajah tampan yang matang di usianya yang sudah menginjak 35 tahun. Selisih 7 tahun dengan Alana.

Namun bukan wajah tampan dan harta yang membuat Alana seringkali dibuat melting. Itu memang salah satunya, tapi bukan penyebab utamanya. Tapi sikap manis yang tak jarang Arkana berikan.

Meskipun Alana menjadi pihak yang dibayar untuk memuaskan namun Arkana justru selalu mendahulukan kebutuhannya. Saat bercinta Arkana tidak egois sama sekali. Pria itu selalu memastikan Alana juga merasakan kenikmatan yang sama. 

Membuat Alana merasa ... dia bukan wanita bayaran yang diharuskan memuaskan Arkana tapi dia justru merasa menjadi wanita yang Arkana dambakan. Dia tahu itu pemikiran yang sangat lancang sekali. Jelas-jelas Arkana mempunyai wanita dambaan lainnya yang akan dia nikahi. Arkana hanya membutuhkannya karena dia tidak mau menodai calon istrinya itu. 

Alana bahkan tidak berhak sakit hati meskipun sekarang hatinya terasa ditusuk belati tajam saat memikirkan Arkana akan hidup selamanya dengan wanita pilihannya, Gia.

Itu sebabnya dari sekarang Alana mencoba mengambil langkah mundur sebelum perasaannya kepada Arkana semakin jauh. 

Alana berniat akan resign setelah Arkana menikah. Satu-satunya cara melepaskan Arkana dengan kebahagiaan sejatinya adalah dengan pergi. Tidak lama lagi, Alana akan pergi dari hidup Arkana.

***

"Pak Arka lagi PMS kali, ya, sensi amat buset hari ini."

"Lo juga kena?"

"Bukan maen lagi. Dia marah-marah gara-gara gue kasihin berkas yang dia minta telat satu menit doang. Coba ... telat satu menit doang padahal. Tapi marah-marahnya kayak gue telat satu jam aja."

"Gue lebih parah lagi. Pak Arka ngamuk gara-gara gue ngetik typo satu huruf doang. Tapi ngamuknya itu loh kayak gue ngegagalin tender yang bernilai miliaran aja."

"Pak Arka kenapa sih, Na?"

Alana yang sejak tadi hanya menyimak obrolan teman-temannya atau mungkin lebih tepatnya misuh-misuh mereka kepada Arkana hanya menggeleng sebagai respons. "Emang lagi PMS kali," jawabnya asal.

"Lo juga kena semprot nggak, Na?"

Alana diam.

Arkana tidak marah-marah kepadanya secara terang-terangan melainkan mendiamkannya seolah dia adalah mahluk tak kasat mata. Air mukanya bahkan dingin sekali membuat Alana rasanya hampir membeku hanya dengan menatapnya saja.

Bisa dipastikan mood Arkana hari ini benar-benar ancur.

Alana sudah takut Arkana akan memintanya di kantor, namun untungnya sampai sekarang pun tidak. Bahkan bosnya itu tidak menyinggung soal semalam--apa Alana berkata jujur ada temannya yang menginap atau justru hanya alasan saja karena tidak mau melayaninya.

"Padahal kan Pak Arka mau nikah, ya. Seharusnya orang mau nikah itu happy-happy. Ini mukanya aja kusut begitu. Untung ganteng."

"Bisa aja kan pusing nyiapin pesta pernikahannya. Makanya gitu."

Alana mengigit bibir bawah. Setiap mendengar Arkana akan menikah sekarang perasaannya tidak baik-baik saja.

Alana mengutuk dirinya berkali-kali. Menyuruh dirinya untuk segera sadar. Bagaimanapun dia hanya menjadi pemuas nafsu Arkana semata. Jangan berharap lebih!

Jam makan siang berakhir. Alana kembali ke balik meja kerjanya. 

Saat Alana sedang menyibukkan diri dengan pekerjaan, pintu ruangan Arkana terbuka, bosnya keluar.

"Batalkan jadwal saya sampai jam dua siang. Saya mau keluar ketemu Gia."

Alana sedikit menegak. Biasanya kalau keluar untuk ketemu dengan Gia Arkana tidak pernah mengatakannya. Tapi sekarang dia berkata terang-terangan akan ketemuan dengan Gia. Membuat Alana semakin merasa terhempas saja. Mungkin Arkana juga ingin menegaskan kalau sebentar lagi dia sudah sepenuhnya milik Gia.

"Baik, Pak." Alana mengangguk patuh. 

Arkana menatap Alana sesaat sebelum kemudian melenggang pergi meninggalkan Alana dengan helaan napas panjang yang ditarik keluar.

***

Nyatanya jam setengah dua pun Arkana sudah kembali.

"Kok sudah kembali, Pak?" tanya Alana. Basa-basi saja sebenarnya.

"Hm." Arkana hanya berdeham saja bahkan tidak menatap Alana sama sekali. Dia masuk ke dalam ruangannya.

Alana menghembuskan napas. Kembali fokus dengan pekerjaan.

Sepuluh menit berlalu dering telepon membuat Alana mengalihkan fokusnya.

"Ke ruangan saya, Na." Suara di seberang telepon langsung terdengar tepat saat sambungan terhubung.

Alana menegak. Sejenak dia masih bergeming di tempat setelah Arkana langsung memutuskan sambungan.

Setelah kejadian Arkana yang tiba-tiba minta dilayani saat di kantor, Alana jadi seringkali was-was saat disuruh masuk ke ruangan bosnya.

Dengan berbekal pikiran positif Arkana hanya akan berbicara terkait pekerjaan, Alana mengetuk pintu ruangan Arkana.

"Saya masuk, Pak." Alana membuka pintu dan sengaja membiarkannya terbuka.

Arkana mengangkat kepala dari tumpukan berkas di hadapannya. Tampak mengerut saat mendapati pintu yang terbuka.

"Tutup pintunya, Na."

Melihat Arkana sibuk dengan berkas-berkas sepertinya pria itu memang hanya akan membahas pekerjaan. Jadi Alana menutup pintunya.

"Sekalian kunci."

*Selengkapnya hanya bisa dibaca di karyakarsa. Link on bio.

Lust of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang