3. Bad Side

7.4K 216 5
                                    

***




Jevano.

Gue menatap wajah damai Prisa yang sedang terlelap.

Dia pasti kelelahan karena lagi-lagi harus meningkahi nafsu gue yang gila gara-gara dia.

Percaya nggak kalau gue hanya akan bernafsu kepada Prisa seorang? Harus percaya. Karena faktanya gue mempunyai semacam penyakit di mana gue selalu merasa jijik saat bersentuhan dengan lawan jenis. Efek saat masih kecil gue pernah mendapatkan pelecehan seksual.

Tapi penyakit itu tiba-tiba hilang di hadapan Prisa. Gue nggak merasa jijik sama sekali saat gue bersentuhan dengan Prisa.

Awal gue tahu penyakit gue nggak kambuh di depan Prisa saat waktu itu tanpa sengaja Prisa menumpahkan air ke paha gue membuat dia refleks mengelapnya. Saat itu gue menepisnya dengan kasar dan gue menyadari gue sama sekali nggak jijik saat menyentuhnya. Untuk menyakinkan dugaan itu gue membuat pilihan nekat dengan mencium bibirnya. Dan benar. Ternyata gue sama sekali nggak jijik.

Gue juga nggak tahu penyebabnya apa. Mungkin karena sejak pertemuan pertama gue udah mempunyai ketertarikan tersendiri kepada Prisa.

Mata innocent-nya itu membuat gue betah lama-lama menatapnya. Atau senyumnya yang manis membuat gue selalu tertarik untuk melemparkan senyum kepada dia hanya supaya dia tersenyum balik sama gue.

Atau mungkin gue tertarik karena dia tampak lemah dan rapuh membuat gue ingin berkuasa atas dia. Yang pada akhirnya sekarang gue lebih tertarik buat melindunginya dari hal-hal kejam di luar sana. Termasuk cowok brengsek yang mau mendekati dia.

Gue sangat-sangat tidak suka melihat Prisa dekat-dekat dengan laki-laki lain bahkan hanya untuk sekedar mengobrol pun. Gue nggak suka ada laki-laki yang berseliweran di sekitarnya. Gue sangat terganggu. Kalau bisa gue bahkan ingin mengurung Prisa hanya untuk diri gue seorang.

Gue tahu sikap gue ini membuat Prisa benci sama gue. Tapi gue nggak peduli. Selama itu bisa membuat Prisa stay, gue akan melakukan apa pun untuk membuat Prisa tetap di samping gue.

Karena gue sangat butuh Prisa. Hanya Prisa yang nggak membuat gue jijik. Hanya Prisa yang bisa membantu gue menyalurkan kebutuhan biologis gue.

Gue mengelus-ngelus pelan puncak kepalanya. Gue terpaksa harus meninggalkan dia sekarang. Padahal gue ingin bergelung di bawah selimut yang sama, memeluknya erat-erat memastikan kalau dia tidak akan pergi ke mana-mana. Tapi gue ada rapat himpunan sekarang.

Setelah meninggalkan kecupan singkat di bibirnya, gue pergi.

Gue baru kembali ke apartemen sekitar pukul tujuh malam. Begitu pulang gue langsung disambut Prisa yang lagi berkutat di pantry dengan hanya mengenakkan selembar kemeja putih kebesaran milik gue. Kemeja itu hanya sampai pahanya.

Dan sial. Gue selalu suka kalau melihat Prisa sudah mengenakkan barang milik gue. Hanya dengan melihat dia begitu saja gue ingin kembali membaringkan dia di kasur dan menghujamnya keras-keras.

Lust of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang