3. Little Girl

607 24 0
                                    



“Om, nunggu lama? Maaf ya.” Violet langsung berujar begitu ketika baru masuk ke dalam mobil Januar yang menunggunya.

Januar hanya tersenyum kecil. “Katanya kerja kelompok, Sayang. Tapi kenapa Om liat kalian hanya mengobrol ya?”

“Kerja kelompoknya udah selesai. Tadi ngobrolin materi buat besok ujian. Terus ya basa-basi aja.”

“Hm, gitu?” Januar melajukan mobilnya. “Terus kenapa Om teleponin nggak diangkat-angkat?”

“Hapenya di-silent. Tapi, kan aku udah liat Om.”

“Udah liat Om tapi masih terus ngobrol sama itu cowok.”

Violet terdiam sesaat. Mengamati Januar lamat-lamat. Nada bicara pria itu memang masih selembut biasanya, tapi entah kenapa terdengar seperti ada sesuatu yang pria itu tahan. Seperti… kelembutannya itu hanyalah palsu.

“Om… marah ya?” tanya Violet hati-hati.

“Kenapa Om harus marah? Memangnya kamu berbuat salah?”

Violet diam. Dia merasa tidak berbuat salah. Tapi, kenapa merasa Januar marah? Terlebih pria itu tidak melakukan hal yang biasanya dilakukan.

Pria itu belum menciumnya. Padahal biasanya baru masuk mobil pun bibirnya sudah langsung dicumbu. Tidak juga melakukan sentuhan-sentuhan kecil. Seperti memegang paha, rambut, tangan, seperti biasa pria itu lakukan ketika sedang menyetir seperti sekarang.

“Aku minta maaf kalau buat Om marah.”

“Kamu minta maaf tanpa tahu kenapa kamu harus minta maaf? Jangan seperti itu, Vio.”

“Ya, Om marah nggak?”

“Enggak, Om nggak marah.”

“Tapi, kenapa aku merasa Om marah?”

“Merasanya dari apa?”

Violet menggigit bibir, ragu untuk menjawab. “… Om belum cium aku,” tapi akhirnya jawaban itu dia utarakan.

Januar menoleh, menatapnya seperkian detik, lalu terkekeh kecil. “Kan nanti juga dicium. Nggak dicium aja malah,” dia mengerling jail di akhir kalimat.

Violet sontak memutuskan kontak mata. Malu.

“Tapi, Om juga nggak kayak biasanya,” ucapnya lagi. 

“Emang biasanya Om kayak gimana?”

“… biasanya Om suka elus rambut aku, pegang paha aku, pegang tangan aku.”

“Om lagi nyetir, Sayang.” Januar mengulum senyum geli. 

Oh, lihatlah gadisnya. Menggemaskan sekali. Membuatnya hampir meruntuhkan pertahanan  untuk tidak meminta perempuan itu duduk di pangkuannya.

“Biasanya juga sambil nyetir.” Gadisnya bahkan sudah bisa menggerutu sekarang.

“Bahaya, Vio, nyetir pake satu tangan.”

“Enggak, pasti bukan karena itu alasannya.” Violet menggeleng. Bibirnya sedikit mengerucut. “Om, pasti beneran lagi marah ya sama aku?”

Januar melepaskan tawa singkat.

Aneh sekali. Padahal sebelumnya dia kesal karena kejadian beberapa saat lalu. Tapi, melihat gadisnya yang merajuk, menggemaskan, manja seperti itu membuatnya luluh begitu saja.

Memang kekanakan sekali marah hanya karena Violet mengabaikan panggilannya karena mengobrol bersama cowok lain. Apalagi saat Violet sudah menjelaskan kondisi ponselnya yang di-silent dan perempuan itu tidak berbohong seperti dugaannya.

Lust of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang