Isa terbangun ketika mendengar tirai dibuka. Begitu melihat siapa yang membukanya, dengan cepat dia mengubah posisinya menjadi duduk. Meringis tertahan merasakan ngilu di selangkangan. Dibanding mempedulikan tubuhnya yang terasa remuk, perempuan yang membungkus tubuh telanjangnya dengan selimut itu lebih peduli pada sosok pria yang masih memancarkan aura tidak bersahabat meskipun tidak semenyeramkan seperti semalam.
"Kamu tidak seharusnya ketakutkan seperti itu, Isa. Di saat kemarin saja kamu bahkan berani melanggar batas yang sudah aku buat."
Memalingkan wajah, Isa mendengus sebal. Siapa juga yang takut?
Pria yang hanya menggunakan boxer dengan jubah tidur yang dibiarkan terbuka sehingga memperlihatkan dada bidang dan garis-garis ototnya yang kaku dan liat itu duduk di tepi kasur, mengambil cawan yang berisi air hangat dan kain yang dia letakan di atas nakas.
"Lepaskan selimutnya."
"Aku bisa melakukannya sendiri," sahut Isa. Masih memalingkan wajah, enggan menatap pria yang semalam begitu beringas menyerangnya.
Mengembuskan napas jengah, Xavier membalas, "Isa, jangan terus menguji kesabaranku."
"Bukankah kamu, ya, yang pemarah?"
"Itu dia. Kamu tahu aku pemarah, tapi kenapa kamu terus bertingkah seperti ini? Sekarang lepaskan selimutnya sebelum aku benar-benar hilang kesabaran."
Menolehkan kepala, menatap Xavier geram, dengan terpaksa Isa melepaskan selimutnya, mempertontonkan badannya yang polos--yang mana penuh bercak merah keungu-unguan yang ditinggalkan Xavier semalam.
Isa tidak hanya sekadar membual soal beringasnya Xavier malam tadi. Buktinya adalah tanda-tanda yang tersebar di leher, sekitaran payudara, bawah tulang selangka, di paha bahkan hingga bokong. Xavier seolah ingin menandai Isa di mana pun.
Semua ini Isa dapatkan gara-gara kemarin dia nekat kabur dari vila ini, vila yang sudah hampir tiga bulan mengurungnya. Vila yang terletak jauh dari keramaian penduduk hingga daerah perkotaan. Bisa dibilang, Isa seperti diisolasi di sini. Bukan seperti, melainkan kenyataannya memang begitu.
Isa tersentak saat Xavier merenggangkan pahanya agar terbuka. Dia membiarkannya tanpa protes. Meskipun masih malu saat Xavier memandang ke arah miliknya seintens itu. Namun, pada dasarnya Xavier memang memiliki tatapan tajam mengintimidasi. Jadi meskipun dalam kondisi teramah sekali pun, Xavier masih tampak dingin.
Mengembuskan napas pelan, sorot mata Xavier sedikit melembut saat melihat milik Isa merah dan sedikit lecet akibat ulahnya semalam. Meremas kain yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat, Xavier mengarahkan kain itu ke kewanitaan Isa, mengompresnya.
"Jangan membuat aku terpaksa menyakiti kamu, Isa." Xavier berkata pelan dengan mata tak beralih dari milik Isa, kembali mengompresnya.
"Jika terpaksa menyakiti aku, apa susahnya untuk tidak menyakiti?"
"Aku tidak akan menyakiti kamu seandainya kamu tetap diam dan menurut."
"Selama ini aku selalu begitu."
"Lalu kenapa kemarin kamu berniat kabur?" Xavier menatap Isa tepat di mata. "Kamu tahu...." Menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "betapa gilanya aku saat mendapatkan kabar kamu kabur? Kenapa kamu gemar sekali kabur-kaburan?"
"Aku hanya ingin menemui ibu."
"Tidak. Kamu bukan hanya ingin menemui ibu kamu, tapi kamu berniat meninggalkan aku, kan?"
Isa memalingkan wajah, tidak mampu menjawab.
"Sebenarnya berapa banyak cara lagi yang harus aku lakukan supaya kamu tidak meninggalkan aku? Apa perlu aku merantaimu?"
Menolehkan kepala cepat, Isa melotot. "Kamu gila!"
"Kamu yang membuat aku gila. Jangan salahkan aku."
Untuk sesaat mereka hanya bertukar pandang. Xavier sudah selesai mengompres kewanitaan Isa.
"Terus aku harus bagaimana, Xavier? Katakan aku harus bagaimana?" Ada kebingungan, keputusasaan, kegelisahan yang terpancar di sorot mata hazel Isa. "Aku berterima kasih karena kamu menyelamatkan aku di bar malam--"
"Jangan sebut nama laknat itu, Isa!" potong Xavier geram.
Mengembuskan napas pelan, Isa melanjutkan, "aku berterima kasih atas pertolongan kamu. Tapi, bisakah kamu tidak perlu memperlakukanku seperti ini? Kenapa kamu harus memperlakukanku seperti sandera?"
"Kamu akan pergi jika aku tidak memperlakukanmu begini."
Kali ini Isa membuang napas lelah dan frustrasi. "Xavier, kenapa kamu begitu terobsesi sama aku? Kamu jelas gambaran laki-laki yang diinginkan oleh semua kaum hawa. Kamu bisa mendapatkan wanita mana pun yang kamu mau."
"Kalau begitu kenapa kamu tidak tertarik kepadaku? Kenapa kamu tidak bisa kembali mencintaiku, Isa?" Di akhir kalimat, cara bicara Xavier terdengar frustrasi.
Isa membuka mulut, namun kembali mengatupkannya. Memalingkan wajah, menjawab dengan lirih kemudian. "Karena kita berbeda, Xavier."
Merangsek mendekat, Xavier meraih kedua pundak Isa untuk menghadapnya. "Berbeda dalam hal apa?"
Isa menautkan alis tidak habis pikir. "Kamu benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?" tanyanya lamat-lamat. "Kita jelas berbeda dari segi mana pun. Kamu adalah seorang konglomerat dan aku... hanyalah seorang anak dari...." Isa tidak mampu melanjutkan ucapannya. Tidak mau menyebut ibunya seorang pelacur, meskipun kenyataannya begitu. "Bagian mananya dari yang tidak kamu mengerti, Xavier?" Suaranya tercekat. Melepaskan tangan Xavier dari pundaknya.
"Apa kamu tidak bisa membuat semuanya menjadi mudah? Kamu hanya perlu di sini. Temani aku. Tinggal sama aku. Jangan pergi ke mana pun. Apa susah?"
Mengernyitkan wajah. Lagi-lagi Isa tidak habis pikir dengan jalan pikir Xavier.
"Kenapa kamu selalu menggampangkan semua hal? Kenapa kamu selalu egois? Kenapa kamu tidak pernah menghargai keputusan aku? Kenapa kamu tidak pernah bisa memahami aku? Kamu bilang apa susah? Jelas susah. Ibu kamu, keluarga kamu, bahkan terang-terangan menyuruh aku untuk pergi dari hidup kamu. Dan tanpa disuruh pun... sebenarnya aku sudah tahu diri. Kamu yang membuat segalanya menjadi susah. Kamu benar-benar membuat aku...." Di tengah bola matanya yang berkaca-kaca dan suaranya yang tercekat, Isa melanjutkan dengan serak, ".... menderita. Kamu membuat aku sengsara, Xavier."
Tubuh Xavier menegang. Tatapannya tampak terluka yang sejurus kemudian berubah menjadi datar. Bangkit berdiri, "tapi sekarang kamu tidak mempunyai pilihan selain tetap tinggal di sini sama aku." Menyelipkan tangan ke belakang punggung Isa dan tangan yang lain ke belakang pahanya, mengangkat Isa dalam gendongan.
"Berengsek," gumam Isa geram. Menyandarkan kepalanya ke pundak lebar Xavier.
"Aku tahu." Xavier mencium puncak kepala Isa. Lanjut membawanya ke kamar mandi.
***
note: kelanjutannya hanya bisa dibaca di karyakarsa. linknya ada di bio.
omong-omong cek juga cerita aku yang lainnya yang berjudul letting go (18+) dan our wedding (21+)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lust of Love
Historia CortaMature Content [21+] Kumpulan short story. Edisi sayang kalau hanya mendekam di draft dan belum sreg untuk dijadikan long story. Sooo enjoy!! © nousephemeral, 2023. all pictures, inside cover © pinterest.