2. Pak Dosen

4K 88 2
                                    

warn: ada konten dewasa di akhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

warn: ada konten dewasa di akhir.

***

Brian.

"Ara, masih marah?"

Aku masuk ke dalam kamar, menutup pintunya, melihat Ara tengah berbaring membelakangi posisi tempatku tidur.

Sebenarnya aku tahu Ara masih marah. Tadi juga dia menolak menemaniku makan padahal biasanya Ara selalu menungguku pulang agar bisa makan bersama.

Aku naik ke atas kasur, bergerak mendekat ke arah Ara yang sudah memejamkan matanya padahal aku yakin istriku ini belum tidur.

"Sayang ... tolong maafin aku dong." Aku berusaha kembali membujuknya. Berbisik tepat di telinganya membuat Ara tiba-tiba berjengit geli. 

Kulihat mata Ara seketika terbuka. "Nggak usah deket-deket!" titahnya, mengerling judes. Menggeser tubuhnya sampai ke tepi kasur, membuat aku refleks menahan perutnya--takut dia terjatuh.

Ara melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya. "Nggak usah sentuh-sentuh," titahnya lagi, galak.

Sejujurnya aku berusaha menahan tawaku agar tidak keluar. Karena sumpah ... Ara yang marah begini bukannya seram, tapi justru lucu. Sebagai informasi dan mungkin akan terdengar cukup aneh bahwa aku suka bergairah setiap melihat Ara ngomel-ngomel. 

Apalagi pakaian yang dipakai Ara sekarang membuatku mati-matian menahan diri untuk tidak segera melarikan tangan ke gundukan kenyal itu. 

Tapi sejujurnya, hanya dengan melihat wajah Ara saja bawaannya aku ingin menelanjanginya. Oleh sebab itu, setiap Ara ada di kelasku, aku mati-matian untuk tidak melihat ke arahnya. Pernah saat aku melihat Ara yang tengah fokus memperhatikan penjelasanku, aku tiba-tiba bergairah ingin mencumbunya saat itu juga. Begitu sampai di rumah, aku langsung menggempurnya. 

Meskipun marahnya sekarang tampak lucu, tapi aku panik juga takut Ara benar-benar tidak mengizinkanku menyentuhnya seminggu penuh. 

God

Apalagi seminggu, satu hari tidak menyentuhnya saja aku tidak tahan.

Sejujurnya, tadi pun aku merasa bersalah setelah menyemprot Ara karena datang terlambat di kelasku. Tapi, pekerjaan tetap pekerjaan. Di kampus, Ara tetap mahasiswiku. Secinta apa pun aku kepada Ara, aku tetap tidak suka dengan yang namanya keterlambatan. Meskipun katanya, dia terlambat gara-gara kemarin malam aku membuatnya kewalahan.

"Gini deh. Semua yang kamu mau aku bakal berusaha mengabulkannya. Tapi dengan satu syarat, kamu harus maafin aku. Gimana?" Aku memberi penawaran.

Ara menelengkan kepalanya menatapku. Matanya menyipit. Tampak tergiur dengan tawaranku, tapi dia menyembunyikannya dengan tetap menatapku galak. Gengsi. Lucu banget.

"Bener, nih?" tanya Ara terdengar skeptis.

Aku mengangguk mantap. "Bener, Ara. Asal kamu harus maafin aku. Dan ... cabut larangan aku nggak boleh nyentuh kamu seminggu penuh."

Lust of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang