4. Friend With Benefits (M)

2.2K 51 5
                                    

"Vi, lo mau gue kasarin? Hari ini lo menguji kesabaran gue banget."

Davira berbalik dengan cepat. Mengernyit. Heran kenapa Arga menampilkan ekspresi kesal seperti itu.

"Gue menguji kesabaran lo dalam konteks bagaimana sih? Perasaan gue nggak melakukan sesuatu yang merugikan lo sampai lo harus memperlihatkan ekspresi kesal kayak gitu. Kalau lo kesal karena gue nggak denger saran lo buat jauhin Beni, lo nggak berhak kesal sebenarnya. Mau gue jadian sama Beni atau jauhin dia itu semua pilihan gue. Gue udah tahu apa yang harus gue lakuin tanpa lo atur-atur begini. Gue aja nggak pernah melarang lo deket sama cewek mana pun yang lo mau. Jangan egois gini dong, Ga. Lama-lama lo jadi annoying tahu nggak?"

Sungguh Davira kesal dengan sikap Arga sekarang. Maunya apa sih? Nggak jelas banget. Selalu membuatnya kege-eran, tapi saat ingin meminta kejelasan atas sikapnya yang seolah seperti pacar cemburu itu Arga justru selalu lebih dulu mengambil batas dengan bilang, "karena lo sahabat gue, Vi. Gue sayang lo. Sebagai sahabat."

"Lo kok jadi keras kepala begini, Vi?"

"Lo sendiri kenapa jadi bersikap berlebihan kayak gini? Lo emang sahabat gue, tapi bukan berarti lo bisa mengatur gue seenaknya. Gue nggak mau selalu mengikuti pilihan lo. Gue juga punya pilihan sendiri sekarang."

Arga meraup wajah kasar. Menyugar rambutnya ke belakang sehingga tampak berantakan. Laki-laki itu memejamkan mata sejenak mengatur emosinya lantas mengembuskan napas panjang.

"Gue minta maaf," katanya kemudian. Memilih mengesampingkan egonya dibanding harus menghadapi kemarahan Davira. "Gue sadar gue memang terlalu berlebihan ikut campur dalam hidup lo. Sori."

Davira menatap Arga lekat. Padahal bukan kalimat semacam itu yang ingin dia dengar. Berharap Arga bilang, "itu karena gue nggak suka liat lo sama laki-laki lain. Gue cemburu, Vi. Gue suka sama lo." Davira mengutuki dirinya sendiri. Lagi-lagi dia mengkhayal. Mana mungkin Arga akan bilang begitu. 

Harapan yang dia buat sendiri hanya membuatnya semakin patah hati saja. Bodoh lo, Davira!

Davira membuang napas kasar. Berbalik badan tanpa mengatakan apa pun. Merasa miris kepada dirinya sendiri yang masih berharap kepada Arga, padahal dia paling mengetahui laki-laki itu tidak menyukai hubungan penuh komitmen dalam jangka panjang. 

Arga hanya suka bermain-main. Jika sudah bosan ditinggalkan. Mungkin dia pun akan menjadi salah satunya nanti. Saat Arga sudah bosan menggunakan tubuhnya. Tapi sialnya dia juga tidak bisa marah atas hal itu. Karena dari awal Davira menyetujui untuk menjalankan hubungan friend with benefits  ini. Tidak bisa menyangkal dia pun menikmatinya. Menyukai tubuh Arga saat menyatu dengan dirinya.

"Lo marah, Vi?" Arga berjalan mengekorinya.

Davira tidak menjawab.

Arga mencekal lengan Davira. "Jangan ngambek gini dong, Vi. Gue paling nggak bisa kalau lo cuekin begini."

Davira spontan berhenti tepat di depan pintu kamar. Memejamkan mata lelah. Kenapa ucapan Arga itu selalu terdengar mengandung makna lain baginya?

Davira baru akan membuka mulut ketika Arga sudah lebih dulu melanjutkan.

"Gue cium kalau lo masih mau nyuekin gue."

Davira berdecak kesal. Melepaskan cekalan Arga di tangannya. "Gue nggak marah." Berbanding terbalik dengan ucapannya, nada suaranya terdengar ketus.

"Senyum dulu dong kalau gitu."

Davira memundurkan kepala, menepis tangan Arga yang akan menyentuh bibirnya.

Arga menatap Davira yang menyorotnya datar tepat di mata. Menghela napas lagi. "Gue harus apa supaya lo mau maafin gue?"

"Pulang."

Ada jeda yang diambil Arga sebelum membalas, "udah suka banget ya lo sama Beni? Sampai-sampai lo marah sebegininya gara-gara gue nyuruh lo jauhin dia."

Davira menatap Arga tanpa ekspresi. Padahal bukan itu alasan utamanya. Dia kesal kepada Arga yang bersikap seolah sedang cemburu. Kesal juga kepada dirinya sendiri yang tidak bisa menerima laki-laki sebaik Beni. Justru terus berharap kepada laki-laki yang tidak bisa dia miliki seperti Arga.

Kenapa hubungan pertemanan mereka menjadi serumit ini, sih? Tentu saja pasti berubah rumit. Saat sex dan cinta ikut masuk ke dalamnya.

"Kenapa lo sangat ingin tahu hubungan gue sama Beni, sih? Kenapa nggak lo urus aja hubungan lo sendiri sama Clara. Atau mungkin lo punya cewek lain lagi selain Clara."

"Gue kayaknya sebrengsek itu ya di mata lo?"

Davira memalingkan wajah tidak menjawab.

"Padahal malam ini gue bener-bener butuh lo, Vi. Tapi sekarang kayaknya lo nggak suka dengan kehadiran gue di sini."

Davira masih tidak merespons apa pun. Matanya pun tidak menatap Arga sama sekali.

"Nyokap gue ngajak ketemu besok."

Informasi itu serta-merta menarik perhatian Davira untuk kembali memusatkan atensinya kepada Arga.

Laki-laki itu tersenyum tipis yang bahkan terlihat dipaksakan. "Ya udah kalau gitu. Gue pulang."

Davira mengigit bibir. Menatap punggung Arga yang entah kenapa sekarang terlihat menyedihkan.

"Ga?" Panggilan itu melayang di udara sebelum Arga benar-benar mencapai pintu keluar.

Arga menoleh.

"Sini." Davira merentangkan tangan yang langsung disambut Arga dengan senyuman senang.

Arga menghambur ke pelukan Davira. Merengkuh tubuh itu erat-erat. Menenggelamkan wajah di ceruk lehernya. Tersenyum puas. Arga selalu tahu kelemahan Davira.

***

Part maturenya hanya bisa dibaca di Karyakarsa ya teman-teman.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lust of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang